Cerpen Pemandangan Perut dalam Teori Konvensi
A.
Konvensi
Bahasa
Pembaca karya sastra dalam memproduksi makna juga tunduk kepada sistem bahasa yang digunakan pertama kali,pembaca atau kritikus dalam memproduksi makna kata-kata, frase, atau kalimat dalam sastra itu harus memperhatikan sistem bahasa yang dipergunakan itu. Di dalam sebuah karya sastra konvensi bahasa yang telah disetujui oleh para pengarang menjadi sistem bahasa yang harus dipatuhi.
Pembaca karya sastra dalam memproduksi makna juga tunduk kepada sistem bahasa yang digunakan pertama kali,pembaca atau kritikus dalam memproduksi makna kata-kata, frase, atau kalimat dalam sastra itu harus memperhatikan sistem bahasa yang dipergunakan itu. Di dalam sebuah karya sastra konvensi bahasa yang telah disetujui oleh para pengarang menjadi sistem bahasa yang harus dipatuhi.
Setiap karya sastra selalu ada kalimat-kalimat yang estetis, dalam cerpen
Pemandangan Perut pengarang juga menggunakan bahasa yang berbeda dari bahasa
pada umumnya yaitu bersifat estetis, puitis, menyentuh rasa dengan keindahannya.
Contoh : dalam cahaya temaram Aku tambah merinding.
Tenggorokanku tiba tiba sulit dibawa bicara. menusuk gendang telinga lalu
menjadi kembang api yang meletus dalam tempurung kepala dan contoh lainnya ada
burung burung sedang menyusun sarang, ada setetes embun yang bergantung dan
berpendar di ujung daun, atau setandan pisang emas yang sudah ranum. Cerpen tersebut juga tetap menggunakan bahasa yang umum digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Bahasa sastra bersifat konotatif atau mengandung
makna, seperti Perlente artinya suka berpenampilan rapi.
Cerpen
tersebut bersifat imajinatif/ fiktif, yaitu suatu cerita rekaan yang berangkat
dari daya khayal kreatif, contoh : “Selain manusia yang selalu tampak sebagai
tulang-belulang itu, mataku juga dapat melihat pemandangan yang jauh lebih mengesankan.
Saya selalu melihat layar tancep dalam rongga perut semua orang. Tontonan dalam
layar tancep itu macam macam, kadang kadang bagus dan menarik, tetapi lebih
banyak yang mengerikan.”
B.
Konvensi
Sastra
Unsur konvensi sastra dalam prosa atau
cerita pendek di atas dapat meliputi:
tema dan subtema, amanat, penokohan, plot,
pusat pengisahan, gaya bahasa.
Unsur-unsur
tesebut sama hal nya dengan unsur intrisik yang terdapat dalam sebuah cerita.
Unsur intrinsik cerpen Pemandangan
Perut :
1. Tema : Kehidupan Bermasyarakat
2. Penokohan
a.
Sardupi : sosok
orang yang rendah diri, bersahaja, tenang, dan ramah.
b. Aku : perhatian terhadap sesama, memiliki
rasa keingintahuan yang tinggi.
c. Pak
Braja : mudah marah dan menyelesaikan
masalah dengan cara kekerasan (pada saat memukuli Kang Sardi).
3. Alur : maju (karena cerita tersebut memaparkan setiap
kejadian berdasarkan urutan kronologis waktu yang terus maju dan tidak mundur).
4. Latar :
a. Waktu : tadi pagi, malam hari, malam benar benar
sudah larut.
b. Tempat : rumah Kang Sardi, di atas dipan, di bibir
dipan dan di rumah tokoh Aku.
c. Suasana : iba, menegangkan, sangat sepi.
5. Sudut
Pandang : orang campuran yaitu
penggunaan antara sudut pandang orang pertama (Aku) dan orang ketiga
(penyebutan nama seperti Kang Sardi, Pak Braja).
6.
Amanat : Janganlah
berpikiran negatif terhadap orang lain, selesaikan masalah dengan kepala dingin
bukan kekerasan, contohlah sikap seseorang yang bersahaja.
7.
Gaya Bahasa :
menusuk gendang
telinga lalu menjadi kembang api yang meletus dalam tempurung kepala. (majas
hiperbola)
C.
Konvensi
Budaya
Konvensi budaya
dalam cerpen tersebut yaitu budaya yang ada di keseharian kampung itu contohnya
saja membersihkan
kebun, membelah belah kayu bakar, atau membawakan barang belanjaan dari pasar
seperti yang dilakukan Sardupi.
Komentar
Posting Komentar