Semantik
JENIS-JENIS
PERUBAHAN MAKNA
Disusun
oleh:
Anggota
Kelompok 12
1.
Amiruddin Awalin 11130410
2.
Erni Rahayu 11130410
3.
Trie Utami 1113041068
Dosen
Pengampu : Dr. Nurlaksana Eko Rusminto, M.Pd.
Mata
Kuliah : Semantik
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA DAN DAERAH
JURUSAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
LAMPUNG
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya, kami diberikan kelancaran dalam
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktu yang telah ditentukan. Kami membuat
makalah dengan judul “Jenis-Jenis Perubahan Makna”.
Tujuan dari penyusunan makalah ini ialah
untuk memenuhi tugas mata kuliah semantik yang telah diberikan dosen
pembimbing, agar kami lebih memahami pemakaian bahasa itu. Sebelumnya penulis
menyadari bahwa di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan
dalam tulisan yang dibuat oleh penulis, untuk itu penulis meminta maaf.
Penulis mengucapkan terima kasih dan
mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun makalah kami demi
penyempurnaan dan perbaikan makalah ini selanjutnya. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Bandar Lampung, November 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR..................................................................................
i
DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
I. PENDAHULUAN
1.1
Latra
Belakang Masalah..................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah............................................................................... 2
1.3
Tujuan Masalah ................................................................................... 2
II. PEMBAHASAN
2.1
Perluasan
Makna................................................................................. 3
2.2
Penyempitan
Makna........................................................................... 4
2.3
Pelemahan
Makna............................................................................... 5
2.4
Kekaburan
Makna............................................................................... 6
2.5 Perubahan Total.................................................................................. 7
2.6 Lambang Tetap, Acuan Berubah........................................................ 8
2.7 Makna Tetap, Lambang Berubah........................................................ 8
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan ....................................................................................... 10
3.2
Saran.................................................................................................. 10
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................. 11
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pada umumnya makna bahasa merupakan
suatu tataran linguistik, semantik dengan objeknya yakni makna yang berada di
seluruh atau di semua tataran fonologi,
morfologi, dan sintaksis yang dapat
dilakukan serta digunakan. Di dalam kajian atau pembahasan yang mengenai
perubahan makna memiliki bagian-bagian yang harus dipaparkan dan diselesaikan.
Adapun bagian- bagian dari jenis-jenis perubahan makna tersebut yaitu,
perluasan makna, penyempitan makna, pelemahan makna, kekaburan makna, perubahan
total, lambang tetap acuan berubah, dan makna tetap lambang berubah.
Makna sebuah kata secara sinkronis
tidak akan berubah. Pernyataan ini menyiratkan juga pengertian bahwa kalau
secara sinkronis makna sebuah kata tidak akan berubah maka secara diakronis ada
kemungkinan bisa berubah. Jadi, sebuah kata yang pada suatu waktu dulu bermakna
‘A’, misalnya, maka pada waktu sekarang bisa bermakna ‘B’, dan pada suatu waktu
kelak mungkin bermakna ‘C’ atau bermakna ‘D’. Sebagai contoh kita lihat kata sastra yang paling tidak telah tiga kali
mengalami perubahan makna. Pada mulanya kata sastra ini bermakna ‘tulisan’ atau ‘huruf’; lalu berubah menjadi
bermakna ‘buku’; kemudian berubah lagi menjadi bermakna ‘buku yang baik isinya
dan baik bahasanya’; dan sekarang yang disebut karya sastra adalah karya yang
bersifat imaginatif kreatif. Karya- karya yang bukan imaginatif kreatif seperti
buku sejarah, buku agama, dan buku matematika, bukan merupakan karya sastra.
Pernyataan bahwa makna sebuah kata
secara sinkronis dapat berubah menyiratkan pula pengertian bahwa tidak setiap
kata maknanya harus atau akan berubah secara diakronis. Banyak kata yang
maknanya sejak dulu sampai sekarang tidak pernah berubah. Malah jumlahnya
mungkin lebih banyak daripada yang berubah atau pernah berubah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
penulis kemukakan diatas maka dapat dirumuskan masalah dalam pembahasan
makalah ini sebagai berikut :
1.
Apa sajakah jenis-jenis perubahan makna?
2.
Bagaimana penjelasan dari setiap jenis perubahan
makna?
3.
Apa sajakah contoh kata dari setiap jenis perubahan
makna?
1.3 Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan yang ingin dicapai dalam makalah
ini ialah:
1. Untuk mengetahui jenis-jenis perubahan makna.
2. Untuk mengetahui contoh kata dari
setiap jenis perubahan makna.
II.
PEMBAHASAN
2.1
Perluasan
Makna
Perluasan
makna adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya
hanya memiliki sebuah ‘makna’, kemudian karena berbagai faktor menjadi memiliki
makna-makna lain (Tarigan, 2010: 140). Misalnya, kata saudara, pada mulanya hanya bermakna ‘seperut’ atau ‘sekandungan’.
Kemudian, maknanya meluas menjadi ‘siapa saja yang sepertalian darah maupun
asal-usulnya’. Perhatikan kalimat berikut ini.
a.
Saudara saya ada tiga orang.
b.
Berkas Saudara sudah saya terima.
c.
Saudara-saudara sebangsa dan setanah
air, marilah kita junjung martabat
bangsa kita.
Perluasan
makna yang terjadi pada kata saudara terjadi juga pada kata-kata kekerabatan
lain, seperti kakak, ibu, dan bapak. Jadi, dapat dikatakan bahwa kata-kata
tersebut sekarang telah menjadi kata sapaan.
Contoh
lain pada kata kepala yang dahulu
dihubungkan dengan bagian tubuh sebelah atas atau tempat otak. Kini makna kata kepala telah meluas, sehingga muncullah
urutan kata kepala sekolah, kepala rumah sakit, kepala pemerintahan, dan
lain-lain. Makna kepala sekolah, yakni orang yang mempunyai jabatan tertinggi
pada sebuah sekolah. Hubungan makna pada kata kepala dengan kepala sekolah
masih ada, yakni makna atas atau bagian atas.
Selain
kedua contoh tersebut, terdapat kata jurusan
yang dahulu lebih banyak dihubungkan dengan arah perjalanan, misalnya jurusan
Tanjung Karang-Teluk Betung. Kini muncul urutan kata jurusan bahasa dan Sastra
Indonesia, jurusan teknik, jurusan Ilmu dan Pendidikan, dan lain-lain.
Pengertian arah perjalanan tidak terasa lagi, sekarang pengertian jurusan lebih
mengacu kepada spesialisasi atau bagian disiplin ilmu yang ditekuni. Terlihat
bahwa kata jurusan telah meluas maknanya, dari arah ke bidang atau
spesialisasi.
Proses
perluasan makna dapat terjadi dalam waktu yang relatif singkat, tetapi dapat
juga dalam kurun waktu yang cukup lama. Semua itu bergantung dengan pemakaian
bahasa. Masyarakat sebagai pemakai bahasa dapat meluaskan makna yang terdapat
pada sebuah kata.
Namun,
perlu diperhatikan bahwa makna-makna lain yang terjadi sebagai hasil perluasan
itu masih berada dalam lingkup poliseminya. Jadi, makna-makna itu masih ada
hubungannya dengan makna asalnya.
2.2 Penyempitan Makna
Di
dalam pemakaian bahasa, sebuah kata dapat mengalami penyempitan makna.
Penyempitan makna adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya
mempunyai makna yang cukup luas, kemudian berubah menjadi terbatas hanya pada
sebuah makna saja. Penyempitan makna dapat dikatakan juga sebagai pembatasan
makna. Misalnya, kata ahli dalam
bahasa Melayu bermakna orang yang termasuk di dalam satu golongan atau
keluarga. Kini telah muncul urutan kata ahli bahasa, ahli penyakit dalam, ahli
sejarah, dan lain-lain. Kata ahli tersebut mengandung makna orang yang pandai
dalam disiplin ilmu. Terlihat bahwa kata ahli sudah menyempit maknanya terbatas
pada bidang tertentu.
Contoh
lain terdapat pada kata sarjana yang
mulanya berarti orang pandai atau cendekiawan, kemudian sekarang berarti ‘orang
yang lulus dari perguruan tinggi’, seperti pada urutan kata sarjana sastra,
sarjana ekonomi, sarjana bahasa Indonesia, dan lain-lain. Betapapun pandainya
seseorang mungkin sebagai hasil belajar sendiri, kalau bukan lulusan dari suatu
perguruan tinggi tidak bisa disebut sarjana. Terlihat bahwa kata sarjana telah
mengalami penyempitan makna.
2.3 Pelemahan Makna
Dalam kehidupan sehari-hari,
sering kita mendengar kenyataan bahwa makna kata tetap dipertahankan meskipun
lambangnya diganti. Maksud pergantian lambang tersebut, yakni ingin melemahkan
makna agar orang yang dikenai kegiatan tidak tersinggung (Pateda, 2010: 190).
Pelemahan makna
adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata yang mulanya bermakna kuat kemudian
dilemahkan maknanya dengan cara menggantikan lambang agar orang yang dikenai
tindakan tidak merasa berat dan tersinggung. Dapat dikatakan bahwa pergantian
lambang (kata) itu untuk menghaluskan makna kata.
Misalnya, kata penjara atau bui yang berfungsi sebagai
tempat menahan orang yang telah diadili untuk menjalani hukuman. Jika kita
mengatakan “Dia baru keluar dari penjara”, maka orang yang dikenai tindakan
tersebut merasa ada tekanan psikologis. Oleh karena itu, kata bui atau penjara
maknanya dilemahkan dengan cara mengganti kata. Kini untuk melemahkan kata bui
atau penjara digunakan urutan kata lembaga
permasyarakatan.
Contoh lain
yaitu pada kata pemecatan atau dipecat
diganti dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Urutan kata pelayan toko
dilemahkan maknanya dengan menggunakan pramuniaga atau pramusaji. Lalu, kata
pelacur dilemahkan maknanya dengan menggunakan kata wanita tuna susila (WTS),
pekerja seks komersil (PSK), atau kupu-kupu malam.
Kata atau urutan
kata yang telah dicontohkan sengaja ditimbulkan untuk melemahkan makna agar
maknanya tidak dirasakan keras. Dapat dikatakan bahwa nilai rasa menjadi acuan
untuk melemahkan makna. Hal ini tidak mengherankan sebab bahasa juga adalah
perasaan.
Upaya melemahkan
makna disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan (Pateda, 2010: 193).
Pertimbangan itu antara lain:
a.
Pertimbangan psikologis, maksudnya agar
orang tidak tersinggung perasaannya.
b.
Pertimbangan secara politis, maksudnya
agar masyarakat tidak sampai terganggu ketentraman dan keamanannya.
c.
Pertimbangan sosiologis, maksudnya agar
masyarakat tidak resah.
d.
Pertimbangan religius, maksudnya agar
orang yang dikenai kata tidak akan tertekan imannya.
e.
Pertimbangan kemanusiaan, setiap manusia
mempunyai hak yang disebut hak asasi manusia (HAM), yang menyangkut martabat
dan kehormatan pribadi.
2.4 Kekaburan Makna
Kekaburan makna
adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau kalimat karena ketidakjelasan
makna atau maknanya kabur sehingga penerima informasi kata tersebut sulit
menerka apa yang dimaksud.
Kekaburan makna
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Sifat
kata atau kalimat yang bersifat umum. Misalnya, kalau kita berkata buku, maka buku apa yang dimaksud, belum
jelas.
b. Kata
akan jelas maknanya jika berada di dalam kalimat dan kalimat akan jelas
maknanya apabila berada dalam konteks. Misalnya, kata air yang berbeda-beda maknanya jika berada dalam kalimat, dan
berbeda-beda pula konteksnya.
c. Kurang
akrabnya kata yang digunakan dengan acuannya. Misalnya, apakah yang dimaksud
dengan demokrasi dan politik? Tentu
akan sulit untuk kita menerangkan secara jelas makna kata-kata tersebut.
d. Kosakata
yang kita miliki kurang, terlebih jika kata yang digunakan tidak kita ketahui
maknanya. Misalnya, kata ekuivalensi,
jika orang yang memiliki kosakata yang luas pasti akan mengetahui maknanya
tetapi jika orang memiliki kosakata yang sempit tentu ia akan sulit menerka
maksudnya bahkan harus membuka kamus terlebih dahulu.
Kekaburan makna dapat
dihindari dengan cara berikut ini.
a. Menambahkan
unsur segmental
Penambahan unsur segmental ialah
menambah unsur berupa kata-kata. Misalnya kata buku, belum jelas maknanya karena terlalu banyak buku. Kalau kata
buku tersebut ditambah unsurnya menjadi buku tulis, buku bahasa Indonesia, buku
cerita, dan buku gambar, maka makna kata buku
menjadi lebih jelas.
b. Menambahkan
unsur suprasegmental
Unsur suprasegmental dapat berupa
jeda, nada, atau tekanan. Misalnya terdapat kalimat Ali anak Ahmad sakit, kalimat tersebut belum jelas. Untuk
memperjelas makna yang terkandung dalam kalimat dapat dilengkapi dengan
penambahan tanda baca (,). Sehingga, kalimatnya menjadi Ali, anak Ahmad, sakit.
Dari kalimat tersebut tentu kita sudah mengetahui bahwa yang sakit adalah Ali,
anaknya bapak Ahmad.
c. Pembicara
harus mengujarkan kata atau kalimat secara jelas dan alat bicara harus normal.
Pada pihak pendengar dituntut adanya alat bicara yang normal, perhatian
terpusat pada objek yang sedang dibicarakan, pemahaman tentang makna kata, dan
banyaknya kosakata yang dikuasai.
2.5 Perubahan Total
Perubahan total
adalah berubahnya sama sekali makna sebuah kata dari makna asalnya (Chaer,
2010: 142). Memang ada kemungkinan makna yang dimiliki sekarang berhubungan
dengan makna asal, namun hubungan itu sudah sangat jauh. Misalnya, kata seni
pada mulanya selalu dihubungkan dengan air seni. Namun, kini digunakan sepadan
dengan makna kata art (bahasa
Inggris), yaitu karya atau ciptaan yang bernilai halus. Kata seni digunakan
dalam frase seni lukis, seni tari, seni suara, dan seni ukir.
Contoh lain
terdapat pada kata pena. Pada mulanya
dalam bahasa Sansekerta kata pena berarti bulu, kini maknanya sudah berubah
total menjadi alat tulis yang menggunakan tinta. Kemudian, kata canggih dengan makna seperti yang
digunakan sekarang ini merupakan contoh dari kata-kata yang maknanya telah
berubah secara total. Kata canggih bermakna banyak cakap, bawel, atau cerewet.
Tidak terdapat makna seperti yang kita dapati dalam frase peralatan canggih,
teknologi canggih, dan lain-lain.
2.6 Lambang Tetap, Acuan Berubah
Dalam kehidupan
sehari-hari dan dalam perkembangan bahasa, terkadang terdapat lambang yang
tetap, acuannya berubah. Hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan manusia,
sedang di sisi lain manusia diburu oleh waktu harus berkomunikasi.
Urutan kata
kereta api dahulu memang dihubungkan dengan kereta yang benar-benar dijalankan
dengan pertolongan api atau kayu bakar. Kini, meskipun kereta api tidak
dijalankan dengan kayu bakar, lambangnya tetap (tidak berubah menjadi lambang
yang lain), yakni kereta api.
Kata
sejarah semula bermakna pohon yang digunakan untuk menggambarkan silsilah
keturunan raja-raja. Kini, lambang atau kata sejarah tetap digunakan, tetapi
acuannya bukan lagi gambaran silsilah keturunan raja-raja, melainkan pengetahuan atau uraian tentang peristiwa dan kejadian
yang benar-benar terjadi di masa lampau, seperti pada frase
sejarah Indonesia, sejarah lahirnya bahasa Indonesia, dan lain-lain.
2.7 Makna Tetap, Lambang Berubah
Dalam bahasa
Indonesia terdapat kata yang mempunyai makna tetap, tetapi lambang
berubah-ubah. Kita lihat beberapa contoh kata berikut ini.
Kata menyeleweng atau urutan kata
menyalahgunakan wewenang adalah kata untuk menggantikan korupsi. Semua urutan
kata tersebut memiliki makna yang sama dengan kata korupsi hanya saja lambang
yang diganti.
Dalam bahasa
Indonesia terdapat kata meninggal
yang bermacam-macam penyebabnya. Oranag yang meninggal karena kelaparan, tidak
dikatakan meninggal karena kelaparan, tetapi korban rawan pangan atau penderita
rawan pangan. Terlihat bahwa kedua
kata tersebut memiliki makna yang sama. Jadi, makna tetap dipertahankan hanya
lambang yang diubah atau diganti.
Dalam bahasa
Indonesia terdapat kata menipu. Kini muncul urutan kata pembelian fiktif,
pembayaran fiktif, dan penerimaan fiktif. Semua urutan kata tersebut memiliki
makna yang sama dengan menipu. Dengan kata lain, makna tetap namun lambang
berubah.
III. PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Perubahan semantik atau perubahan makna tersebut tentu
saja dapat ditinjau dari berbagai segi. Menurut para ahli ada enam jenis
perubahan makna, yaitu:
1. Perluasan
makna
2. Penyempitan
makna
3. Pelemahan
makna
4. Kekaburan
makna
5. Perubahan
total
6. Lambang
tetap, acuan berubah
7. Makna
tetap, lambang berubah
3.2 Saran
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam
menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya. Apabila masih terdapat kekurangan
dalam penulisan maupun isi dari makalah yang kami susun, pembaca dapat mencari
literatur-literatur lain sebagai penambah dan pelengkap pengetahuan mengenai
jenis-jenis perubahan makna.
DAFTAR
PUSTAKA
Chaer,
Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa
Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Pateda,
Mansoer. 2010. Semantik Leksikal.
Jakarta: Rineka Cipta.
Komentar
Posting Komentar