Metode Rekonstruksi (Mata Kuliah Perbandingan Bahasa Nusantara)
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Bahasa adalah suatu alat pada manusia untuk
menyatakan tanggapannya terhadap alam sekitar atau peristiwa-peristiwa yang
dialami secara individual atau secara bersama-sama. Keraf (1948:22) mengatakan
linguistik bandingan historis adalah suatu cabang ilmu bahasa yang
mempersoalkan bahasa dalam bidang waktu serta perubahan–perubahan unsur bahasa
yang terjadi dalam bidang waktu tersebut. Linguistik historis komparatif adalah
salah satu cabang ilmu linguistik yang membandingkan bahasa-bahasa yang
serumpun serta mempelajari perkembangan bahasa dari satu masa ke masa yang lain
dan mengamati bagaimana bahasa-bahasa mengalami perubahan serta mencari tahu
sebab akibat perubahan bahasa tersebut.
Di dalam linguistik komparatif untuk menentukan hubungan kekerabatan
bahasa dengan menggunakan 3 metode, yaitu metode kuantitatif dengan teknik
leksikostatistik dan teknik grotokronologi, metode kualitatif dengan teknik
rekonstruksi dan metode sosiolinguistik, dan metode kualitatif dengan teknik
grotokronologi digunakan untuk menentukan waktu pisah antara bahasa-bahasa yang
berasal dari bahasa awal. Namun, dalam penulisan makalah ini lebih difokuskan
pada metode kualitatif dengan teknik rekonstruksi.
1.2
Rumusan Masalah
Rumusan
masalah dalam makalah ini, yaitu:
1.
Bagaimana hakikat teknik rekonstruksi?
2.
Bagaimana macam-macam teknik rekonstruksi?
3.
Bagaimana penerapan macam-macam teknik rekonstruksi?
1.3
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah
untuk memenuhi tugas mata kuliah Perbandingan Bahasa Nusantara dan mengetahui
metode rekonstruksi untuk mengklasifikasikan bahasa atau dapat menemukan
korespondensi antara bahasa-bahasa yang sekerabat.
II. PEMBAHASAN
2.1
Teknik Rekonstruksi
Di dalam linguistik
komparatif untuk menentukan hubungan kekerabatan bahasa dengan menggunakan 3
metode, yaitu metode kuantitatif dengan teknik leksikostatistik dan teknik
grotokronologi, metode kualitatif dengan teknik rekonstruksi dan metode sosiolinguistik,
dan metode kualitatif dengan teknik grotokronologi digunakan untuk menentukan
waktu pisah antara bahasa-bahasa yang berasal dari bahasa awal.
Makalah ini akan membahas metode kualitatif dalam linguistik histori
komparatif menggunakan teknik rekonstruksi. Metode
kualitatif dengan teknik rekonstruksi bertujuan untuk mengelompokkan atau mengklasifikasikan
bahasa (dapat menemukan korespondensi antara bahasa-bahasa yang sekerabat). Rekonstruksi
merupakan pembentukan kembali unsur bahasa yang telah hilang melalui bentuk
atau gejala pada bahasa-bahasa turunan. Rekonstruksi merupakan metode yang digunakan untuk memeroleh fonem atau
morfem proto dari suatu kelompok bahasa berkerabat,
yang dianggap pernah ada dalam bahasa-bahasa purba, yang sama sekali tidak
memiliki naskah tertulis (Murmahyati, 2002).
Rekonstruksi bahasa
yang dilakukan secara internal untuk mencari prabahasa dari bahasa-bahasa yang
sedialek. Selain itu, rekonstruksi internal di dalam sebuah bahasa tanpa
dikaitkan dengan bahasa lain untuk menemukan proto bahasa dalam sebuah bahasa
dan melihat perkembangannya. Rekonstruksi yang dilakukan secara eksternal dilakukan
untuk menentukan proto kelompok bahasa.
Metode perbandingan
klasik tidak hanya bertalian dengan menemukan hukum bunyi antara bahasa-bahasa
kerabat atau dengan istilah kontemporer ‘menemukan korespondensi fonemis antar
bahasa kerabat’, tetapi masih
dilanjutkan dengan usaha mengadakan
rekonstruksi (pemulihan) unsur-unsur purba, baik fonemis maupun morfemis.
Rekonstruksi fonem dan morfem proto dimungkinkan karena para ahli menerima
suatu asumsi bahwa jika diketahui fonem-fonem kerabat dari suatu fonem bahasa
proto, maka sebenarnya fonem proto itu dapat ditelusuri kembali bentuk tuanya.
2.2 Macam-Macam
Teknik Rekonstuksi
1. Rekonstruksi
Fonemis
Untuk
menerapkan prinsip rekonstruksi fonemis, pertama-tama diadakan perbandingan
pasangan-pasangan kata dalam pelbagai bahasa kerabat dengan menemukan
korespondensi fonemis dari tiap-tiap fonem yang membentuk kata-kata kerabat
tersebut. Dengan menemukan korespondensi fonemisnya dapat diperkirakan fonem
proto mana yang kiranya menurunkan fonem-fonem yang berkorespondensi tersebut.
Bagi tiap perangkat kemudian dicarikan suatu etiket pengenal untuk memudahkan
referensi. Etiket pengenal ini tidak lain adalah fonem proto tadi yang dianggap
menurunkan perangkat korespondensi fonemis yang terdapat dalam bahasa-bahasa
kerabat. Fonem ini biasanya diberi tanda asterisk (*).
Hal
yang perlu diperhatikan:
1. Fonem yang distribusinya dan
distribusi geografisnya paling banyak dalam bahasa-bahasa kerabat dapat
dianggap sebagai pantulan linear dari fonem proto.
2. Fonem yang dianggap proto tersebut
hanya boleh menurunkan satu perangkat korespondensi fonemis.
Contoh
penerapan rekonstruksi fonem dalam bahasa Ciacia.
Bahasa
Ciacia (BCc) tergolong dalam kelompok Autronesia, Melayu-Polinesia subrumpun
Muna-Buton dengan populasi sebanyak 79.000. BCc merupakan salah satu bahasa
yang dituturkan oleh sebagian besar masyarakat di bagian Selatan pulau Buton,
Provinsi Sulawesi Tenggara. Lokasi Penutur BCc kini tersebar di tiga wilayah
otonomi, yaitu: (1) Kabupaten Buton; (2) Kabupaten Wakatobi; dan (3) Kota
Baubau (Konisi dan Hidayat, 2001). BCc adalah bahasa yang bertipe vokalik. BCc
dituturkan oleh masyarakat Ciacia yang secara garis besar terbagi dalam empat
subetnis, yaitu: Laporo, Burangasi, Wabula, dan Lapandewa. Keempat subetnis tersebut
masing-masing memiliki karakteristik tersendiri.
Langkah-langkah
rekonstruksi ini dibuat berdasarkan fakta-fakta linguistik dari kelompok BCc,
yaitu varian Takimpo (tko), Wabula (wba), Holimombo (hmo), Kondowa (kda), Laporo (lpo), Lapodi (lpi),
Wakaokili (wki), Wolowa (wlw), dan varian Wasaga-Kancinaa (wk). Langkah-langkah
kerja rekonstruksi, yaitu menyusun kata-kata sepadan yang berpotensi di antara
varian-varian yang berkait. Selanjutnya, menentukan kata-kata serupa yang
terdapat dalam kelompok BCc. Kata-kata yang digunakan dalam perbandingan bahasa
adalah kata-kata yang serupa yang merupakan refleksi dari hasil pantulan
sejarah warisan suatu sumber bahasa yang sama. Penentuan kata serupa dilakukan
dengan melihat kesamaan bentuk dan makna dari kelompok bahasa tersebut.
Terakhir, melakukan rekonstruksi tiap fonem yang terdapat dalam pasangan kata
yang sama diperbandingkan. Rekonstruksi atau pemulihan fonem proto kelompok BCc
dilakukan dengan membandingkan set korespondensi pada kata seasal dalam kata-kata
berkerabat.
2. Rekonstruksi
Morfemis
Rekonstruksi morfemis (antar bahasa kerabat) mencakup
rekonstruksi atas alomorf-alomorf (rekonstruksi untuk menetapkan bentuk tua
dalam satu bahasa). Dengan melakukan rekonstruksi fonemis maka berhasil pula
dilakukan rekonstruksi morfemis, yaitu dengan memulihkan semua fonem
bahasa-bahasa kerabat sekarang sebagai yang tercermin dalam pasangan kata-katanya
ke suatu fonem proto, maka sudah berhasil pula dilakukan rekonstruksi morfemis
(kata dasar atau bentuk terikat), yaitu menetapkan suatu morfem proto yang
diperkirakan menurunkan morfem-morfem dalam bahasa-bahasa kerabat sekarang.
Seperti halnya fonem proto, maka morfem proto juga ditandai dengan asterisk
(*).
Contoh rekonstruksi morfemis pada bahasa Gorontalo:
Rekonstruksi yang menurut
Purwadarminta (1982: 812) adalah pengembalian sebagai semula dapat diproses
setelah fonem-fonem bahasa anggota kelompok Gorontalo dibandingkan. Pola yang
diterapkan dalam perekonstruksian ini berdasar pada Keraf (1991: 60).
Leksem atau perangkat kata seasal
bahasa-bahasa kelompok Gorontalo yang terdiri atas bahasa Suwawa, Kaidipang,
Bintauna, Bolango, Buol dan Gorontalo setelah direkonstruksi, menghasilkan
bentuk proto (*) sebagai berikut:
Konsonan :
*p *t
*k *q *b *d* ǰ *g *m*n *ŋ *s *l *L *w *y*Y *(w)
*(y)
Pre-nasal :
*mp *nt *ŋk *mb *nd *ŋg *ns
Vokal :
*i *u *e *o *a
Tabel 3
Refleksi Etimon Rumpun Gorontalo
Proto Austronesia (PAN)
|
Arti
|
Proto Gorontalo (PG)
|
Suwawa (SWW)
|
Kaidipang (Kai)
|
Bintauna (Bin)
|
Bolango (Bol)
|
Buol (Bwl)
|
*amaq
|
‘ayah’
|
*amaq
|
qama
|
ama
|
i-yama
|
si-ama
|
ti-amo
|
*bukid
|
‘bukit’
|
*bakidu
|
buqido
|
βukiru
|
βuqiro
|
buqido
|
βukid
|
*Rakit
|
‘rakit’
|
*gakit
|
gaqita
|
gokito
|
kaito
|
gaqita
|
gokit
|
3. Rekonstruksi Dalam
Rekonstruksi
dalam adalah rekonstruksi yang dilakukan dalam satu bahasa untuk mendapatkan
bentuk-bentuk tuanya. Dalam hal ini kita hanya menggunakan bahan-bahan dari
satu bahasa saja, yaitu rekonstruksi atas alternasi morfofonemis atau atas
alomorf-alomorf suatu morfem.
Rekonstruksi
ini bertujuan untuk memulihkan suatu bahasa pada tahap perkembangan tertentu
pada masa lampau, dengan tidak menggunakan bahan-bahan dari bahasa lain,
melainkan hanya menggunakan data dari bahasa itu sendiri. Contoh rekonstruksi
dalam, yaitu rekonstruksi bahasa Jawa: bahasa Jawa dialek Tengger, dialek
Banyumas, dialek Solo, dialek Jawa Timuran dianalisis secara internal melalui
rekonstruksi internal untuk menentukan proto bahasa Jawa.
Rekonstruksi dalam dapat dilakukan karena beberapa kenyataan
berikut dalam sebuah bahasa:
a. Adanya alomorf
Dalam bahasa Indonesia kita jumpai sejumlah bentuk kata
seperti: berjalan, bermain, berdiri, belajar, berumah, dan sebagainya. Dalam
linguistik bahasa Indonesia juga dikenal bentuk alomorf seperti ber-, bel-,
be-, atau ter-, tel, te-. Dalam linguistik historis komparatif kita
mempersoalkan bagaimana bentuk dasarnya pada masa lampau. Sesuai dengan prinsip
rekonstruksi morfemis melalui rekonstruksi fonemis, kita dapat menentukan
bentuk manakah yang merupakan proto dari alomorf tersebut. Berdasarkan
kesederhanaan dan penghematan, dan melihat distribusi tiap alomorf, maka bentuk
proto dari alomorf tersebut adalah */ber/ dan */ter/.
b. Netralisasi
Proses ni dapat ditunjukkan dengan proses berikut: dalam bahasa
Jerman Modern memiliki sejumlah konsonan, yakni /p/, /t/, /k/, /b/, /d/, dan
/g/. Keenamnya dapat muncul pada posisi awal dan tengah tetapi dalam posisi
akhir hanya ada /p/, /t/, dan /k/. Biasanya dikatakan bahwa konsonan /b/, /d/,
dan /g/ secara deskriptif mengalami proses netralisasi pada posisi akhir dan diganti
dengan konsonan /p/, /t/, dan /k/. Kenyataan ini akan memberi peluang untuk
menarik kesimpulan lebih jauh bahwa secara historis dalam bahasa Jerman yang
lebih tua, konsonan /b/, /d/, dan /g/ harus muncul juga pada posisi akhir.
c. Reduplikasi
Reduplikasi merupakan peristiwa atau gejala lain dalam bahasa
yang dapat dipergunakan untuk mengadakan rekonstruksi dalam. Misalnya, dalam
bahasa Indonesia, reduplikasi terjadi pada suku kata awal, seperti pada kata
tangga—tetangga dan laki—lelaki. Reduplikasi melemahkan vokal pada suku kata
awal sehingga menjadi /e/. Hal tersebut terjadi sebagai akibat dari tekanan
kata yang ditempatkan pada suku kata kedua dari akhir. Dengan demikian
rekonstruksi untuk kata-kata tersebut adalah *ta-tangga dan *la-laki. Secara historis
tidak semua bentuk reduplikasi itu sudah ada sejak zaman prasejarah bahasa
Melayu, ada juga yang merupakan hasil ciptaan selanjutnya.
d. Bentuk infleksi
Infleksi
merupakan perubahan bentuk kata yang menunjukkan berbagai hubungan gramatikal,
seperti nomina, pronomina, adjektiva, dan konjungsi. Contoh bentuk write
dalam bahasa Inggris menjadi writes merupakan bentuk infleksi, karena
perubahan bentuk kata namun masih menunjukkan hubungan gramatikal, yaitu
sama-sama verba. Contoh kasus infleksi dalam bahasa Indonesia hanya terdapat
dalam pembentukan verba transitif, yaitu dengan prefiks me- untuk verba
transitif aktif, prefiks di- untuk verba transitif pasif tindakan, prefiks ter-
untuk verba transitif pasif keadaan, dan prefiks zero untuk verba imperatif
(Chaer, 2008: 38).
Contoh:
Prefiks
|
Bentuk
Dasar
|
Bentuk
Infleksi
|
Hubungan
Gramatikal
|
me-
|
selipkan
|
menyelipkan
|
Verba aktif
|
ter-
|
selipkan
|
terselipkan
|
Verba pasif keadaan
|
di-
|
selipkan
|
diselipkan
|
Verba pasif tindakan
|
0
|
selipkan
|
selipkan
|
Verba imperatif (bersifat
perintah)
|
4. Rekonstruksi Luar
Rekonstruksi
luar dilakukan terhadap dua bahasa atau lebih untuk menemukan bentuk-bentuk
protonya. Contoh, membandingkan bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Madura, dan bahasa
Melayu sehingga dapat ditemukan bahwa bahasa-bahasa tersebut berasal dari
bahasa yang sama, yaitu proto bahasa Melayu Jawa.
Berdasarkan
hasil dari penelitian kualitatif leksikostatistik yang dilakukan oleh Nothover
maka diperoleh hubungan bahasa Melayu dan Madura lebih dekat. Maka, kedua
bahasa itu dapat direkonstruksi terlebih dahulu dalam rekonstruksi luar.
2.3
Penerapan Teknik Rekonstruksi
Metode komparatif
dengan pendekatan kualitatif melalui teknik rekonstruksi dapat
dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
1.
Rekonstruksi bawah-atas (buttom-up)
Rekonstruksi
bawah-atas (buttom-up) digunakan untuk menemukan kaidah primer dan
kaidah sekunder. Rekonstruksi ini bersifat induktif, biasanya digunakan untuk
mengelompokkan bahasa pada peringkat yang lebih rendah ke arah peringkat yang
lebih tinggi. Contoh: merekonstruksi bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan Melayu
berasal dari rumpun bahasa yang sama, yaitu proto bahasa Melayu-Jawa.
2.
Rekonstruksi atas-bawah (top-down)
Rekonstruksi
atas ke bawah ini biasanya bersifat deduktif. Tujuannya untuk mencari cerminan
atau reflek dari bahasa proto pada bahasa-bahasa turunannya.
Contoh: rekonstruksi pada proto bahasa Minahasa.
Contoh: rekonstruksi pada proto bahasa Minahasa.
III. PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Rekonstruksi merupakan pembentukan kembali unsur bahasa
yang telah hilang melalui bentuk atau gejala pada bahasa-bahasa turunan. Metode
rekonstruksi dilakukan untuk melakukan pemulihan terhadap bahasa-bahasa proto
yang tidak memiliki naskah tertulis. Metode ini hanya dimungkinkan untuk
memulihkan pada fonem dan morfem proto, tetapi tidak sampai pada bentuk
sintaksis.
Rekonstruksi
fonem dan morfem proto dimungkinkan karena para ahli menerima suatu asumsi
bahwa jika diketahui fonem-fonem kerabat dari suatu fonem bahasa proto, maka
sebenarnya fonem proto itu dapat ditelusuri kembali bentuk tuanya.
3.2 Saran
Apa yang dihasilkan dari rekonstruksi
tersebut mungkin tidak paralel dengan keadaan yang sebenarnya dengan perkembangan
sejarah yang faktual. Tetapi sejauh kita belum memeroleh bukti-bukti terbaru,
kita tetap menggunakan bentuk-bentuk rekonstruksi dengan sikap terbuka.
Komentar
Posting Komentar