VARIASI BUNYI DALAM BAHASA SUNDA



VARIASI BUNYI DALAM BAHASA SUNDA
(VARIASI BUNYI VOKAL DAN BUNYI KONSONAN)


Trie Utami
FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah
Universitas Lampung


Abstrak
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan variasi bunyi dalam bahasa Sunda terutama variasi fonologis pada bunyi vokal dan bunyi konsonan. Lokasi pengamatan dalam penelitian ini di Kampung Kebon Kelapa Kecamatan Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung. Sumber data penelitian yaitu masyarakat penutur bahasa Sunda. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Langkah penelitian berupa tahap penyediaan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian data. Pada tahap penyediaan data menggunakan metode cakap dengan teknik cakap semuka, teknik catat, dan teknik rekam. Pada tahap analisis data menggunakan pendekatan sinkronis. Penelitian menyimpulkan bahwa ditemukan variasi bunyi vokal pada [u] dengan [e], variasi bunyi konsonan pada [k] dengan [h], serta variasi bunyi vokal dan konsonan pada [h] dengan [i] dan [u] dengan [h].

Kata kunci: variasi bunyi, bunyi vokal, bunyi konsonan


PENDAHULUAN

Pada umumnya manusia berkomunikasi melalui bahasa. Seperti kita ketahui bahwa fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi atau alat interaksi yang hanya dimiliki manusia (Chaer dan Agustina,   2010: 11).

Tiap bahasa diwujudkan oleh bunyi. Bunyi pada bahasa adalah bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bunyi bahasa dibuat oleh manusia untuk mengungkapkan sesuatu. Bunyi bahasa dapat terwujud dalam nyanyian atau dalam tuturan.

Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtunan bunyi-bunyi bahasa ini disebut fonologi, yang secara etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi, dan logi yaitu ilmu. Menurut hierarki satuan bunyi yang menjadi objek studinya,  fonologi dibedakan menjadi fonetik dan fonemik. Secara umum, fonetik biasa dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memerhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Sementara itu, fonemik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memerhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna (Muslich, 2008: 3).

Dalam menggunakan suatu bahasa sering kali dijumpai perbedaan pengucapan yang disebut variasi bunyi. Perbedaan pengucapan biasanya berupa variasi-variasi ucapan pemakaian bahasa, baik secara sosial maupun geografis. Variasi-variasi ucapan hanya bisa dijelaskan dengan tepat kalau memanfaatkan hasil analisis fonologi (Muslich, 2008: 3).

Perbedaan fonologi dapat pula dikelompokkan atas 4 kelompok, yaitu perbedaan yang berupa korespondensi vokal, variasi vokal, korespondensi konsonan, dan variasi konsonan (Mahsun, 1995: 51).

Bottom of Form
Dalam penelitian ini difokuskan membahas perbedaan fonologi bunyi vokal dan bunyi konsonan serta ingin mengungkap bagaimana variasi fonologi bunyi vokal dan bunyi konsonan dalam bahasa Sunda.

Perbedaan fonetik merupakan perbedaan yang berada di bidang fonologi dan umumnya penutur dialek atau bahasa itu tidak menyadari adanya perbedaan tersebut.

Perbedaan di antara leksem-leksem yang menyatakan makna yang sama itu berupa variasi dan perbedaan itu hanya terjadi pada satu atau dua bunyi yang sama urutannya (Zuleha, 2010: 41).

Leksem-leksem yang merupakan realisasi dari satu makna, yang terdapat di antara daerah-daerah pengamatan itu ditentukan sebagai perbedaan fonologi apabila (1) perbedaan yang terdapat pada leksem-leksem yang menyatakan makna yang sama itu muncul secara teratur atau merupakan korespon-densi dan (2) perbedaan di antara leksem-leksem yang menyatakan makna yang sama itu berupa variasi dan perbedaan itu hanya terjadi pada satu atau dua bunyi yang sama urutannya (Mahsun, 1995: 23).

Perbedaan fonologi yang terjadi di antara daerah-daerah pengamatan (dialek atau subdialek) atau di antara bahasa-bahasa muncul sebagai akibat dari perbedaan dalam merefleksikan prafonem atau protofonem yang terdapat pada prabahasa atau protobahasa (Mahsun, 1995: 25).

Wijayakusumah dalam Prawiraatmaja dkk. (1986: 17) mengemukakan bahwa dalam bahasa Sunda memiliki tingkat bahasa. Tingkat bahasa di sini berarti sistem yang terdapat dalam bahasa Sunda mengekspresikan tingkat-tingkat rasa hormat yang bersangkut-paut dengan relasi sosial dan orang-orang yang memper-gunakan bahasa Sunda. Dalam sistem ini terdapat apa yang disebut dalam bahasa Sunda perbedaan kasar—lemas. Perbedaan ini mengenai kata-kata, bentuk kata, intonasi, dan sudah menjadi kategori-kategori dalam bahasa Sunda, sehingga orang Sunda tidak saja berbicara tentang kata-kata kasar dan halus, tetapi juga tentang bahasa kasar dan batas lemes.

Masyarakat penutur di Kampung Kebon Kepala selain menggunakan bahasa Indonesia juga menggunakan bahasa Sunda dalam berkomunikasi sehari-hari, baik dalam penyapaan, sebutan kekerabatan, maupun berkomunikasi seutuhnya. Sebutan kekerabatan yang biasa digunakan masyarakat di Kampung Kebon Kelapa, seperti teteh, abah, dan lain-lain. Masyarakat penutur di Kampung Kebon Kepala terdapat masyarakat yang menggunakan bahasa Sunda halus dan bahasa Sunda kasar.


METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu deskriptif kualitatif. Metode deskriptif adalah metode yang bertujuan membuat deskripsi; maksudnya membuat gambaran, lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti (Djajasudarma, 2010: 9).

Data dalam penelitian ini berupa variasi bunyi. Sumber data dalam penelitian ini masyarakat penutur bahasa Sunda dialek Sampea dengan informan bernama Ahmad Darmuji dan bahasa Sunda dialek Sodong dengan informan bernama Kusnawati.

Informan dalam penelitian ini yakni dua warga di Kampung Kebon Kelapa Kecamatan Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung yang merupakan masyarakat penutur bahasa Sunda. Kedua informan tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Nama             : Ahmad Darmuji
    Usia               : 80 tahun
    Tempat lahir  : Desa Sampea, Bogor
    Pekerjaan       : Tidak bekerja

2. Nama             : Kusnawati
     Usia              : 50 tahun
     Tempat lahir : Desa Sodong Kec. Saketi,    
                            Jawa Barat
     Pekerjaan      : Pedagang

Penelitian ini mengikuti prosedur yang dikemukakan oleh Sudaryanto dalam Mahsun (1995: 93) yang dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahap penyediaan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian data. Tahap penyediaan data meliputi (1) menentukan daerah pemakaian bahasa Sunda yang diteliti, (2) mempersiapkan instrumen yang berupa daftar pertanyaan meliputi kosakata yang menunjukkan anggota tubuh, kata sifat, dan kegiatan sehari-hari, dan (3) pelaksanaan penelitian lapangan. Kemudian, tahap analisis data meliputi (1) menata data hasil catatan dan rekaman dalam bentuk transkripsi dan (2) menganalisis temuan kata yang memiliki perbedaan bunyi atau variasi bunyi. Lalu, tahap penyajian data berupa (1) menyajikan dan membahas temuan kata yang memiliki perbedaan bunyi atau variasi bunyi dan (2) menyimpulkan hasil analisis.

Pada tahap penyediaan data menggunakan metode cakap dengan teknik cakap semuka, teknik catat, dan teknik rekam (Mahsun, 1995: 94—98). Penjelasan ketiga teknik tersebut sebagai berikut.
1.  Teknik cakap semuka dilakukan peneliti dengan mendatangi langsung setiap daerah pengamatan dan melakukan percakapan dengan para informan.
2.  Teknik catat dilakukan peneliti untuk mencatat informasi berupa bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh informan.
3.  Teknik rekam dilakukan peneliti untuk merekam bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh informan dan sebagai alat bantu untuk mengecek kembali perbedaan bunyi yang dihasilkan informan.

Pada tahap analisis data menggunakan pendekatan sinkronis. Pendekatan sinkronis dilakukan ketika menganalisis leksikon untuk mengungkapkan perbedaan bentuk, yakni perbedaan fonetis, leksikal, dan morfologis (Wahya, 2015: 23).


HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan ditemukan kosakata yang memiliki variasi bunyi, antara lain variasi bunyi vokal, bunyi konsonan, serta bunyi vokal dan konsonan. Selain itu, hasil pengamatan juga menemukan kosakata yang memiliki persamaan bunyi vokal dan variasi kata. Berikut ini masing-masing penjelasannya.

A. Variasi Bunyi
Variasi bunyi dalam bahasa Sunda berupa variasi bunyi vokal, bunyi konsonan, serta bunyi vokal dan konsonan. Berikut ini masing-masing penjelasan variasi bunyi tersebut.

1.  Variasi Bunyi Vokal
Variasi bunyi vokal yang ditemukan dalam bahasa Sunda, yakni bunyi [u] pada kata [bǝutǝŋ] dengan bunyi [e] pada kata [bǝtǝŋ] yang sama-sama memiliki makna perut.

Perbedaan fonologis antara bunyi  [u] dan [e] merupakan perbedaan pada bunyi vokoid. Perbedaan keduanya hanya terletak pada pengaturan posisi lidah dan bibir tanpa melibatkan penyempitan atau penutupan pada daerah artikulasi. Posisi lidah pada bunyi [u] berada pangkal lidah sebelah kiri, sedangkan pada bunyi [e] berada pada tepi lidah sebelah kanan.

Jika dilihat dari perwujudannya, terjadi perubahan leksikal parsial berupa penghilangan fonem /u/. Bahasa Sunda halus menggunakan fonem /u/ pada kata [bǝutǝŋ] untuk mengartikan makan, sedangkan bahasa Sunda kasar tidak menggunakan fonem /u/ sehingga pelafalan bunyinya [bǝtǝŋ].

2.  Variasi Bunyi Konsonan
Variasi bunyi konsonan yang ditemukan dalam bahasa Sunda, yakni bunyi [k] pada [kuntu?] dengan bunyi [h] pada [huntu] yang sama-sama memiliki arti gigi.

Perbedaan fonologis antara bunyi [k] dan [h] merupakan perbedaan pada bunyi kontoid. Bunyi [k] merupakan bunyi dorso-velar, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan pangkal lidah  dan langit-langit lunak, sedangkan bunyi [h] merupakan bunyi laringal, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan tenggorok (laring).

Jika dilihat dari perwujudannya, terjadi perubahan leksikal parsial berupa penggantian konsonan /k/ menjadi /h/ pada awal kata dan penghilangan fonem /k/ pada akhir kata sehingga menghasilkan variasi bunyi antara [kuntu?] dan [huntu].

3.  Variasi Bunyi Vokal dan Konsonan
Variasi bunyi vokal dan konsonan yang ditemukan dalam bahasa Sunda, antara lain bunyi [h] pada [hiruŋ] dengan bunyi [i] pada kata [iruŋ] yang sama-sama memiliki arti hidung. Selain itu, ditemukan juga variasi bunyi [u] pada [udaŋ] dengan bunyi [h] pada [hudaŋ] yang memiliki arti bangun.

Kedua kata di atas memiliki perbedaan fonologis antara bunyi vokoid, yaitu pada bunyi [i] dan [u] dengan bunyi kontoid, yaitu bunyi [h]. Jelas sekali perbedaan fonologis tersebut, bunyi vokoid dihasilkan tidak melibatkan penyempitan dan penutupan pada daerah atikulasi, sedangkan bunyi kontoid melibatkannya.

Jika dilihat dari perwujudannya, fonem /h/ pada kata [hiruŋ] dan fonem /i/ pada kata [iruŋ] yang sama-sama memiliki arti hidung mengalami penghilangan konsonan /h/ pada awal kata.

Variasi bunyi pada fonem /u/ pada kata [udaŋ] dan fonem /h/ pada kata [hudaŋ] yang memiliki arti bangun mengalami perubahan leksikal parsial berupa penambahan fonem /h/ pada awal kata.

B. Persamaan Bunyi Vokal
Selain variasi bunyi, hasil pengamatan juga menemukan persamaan bunyi vokal dalam bahasa Sunda. Persamaan bunyi vokal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Kosakata yang Memiliki Persamaan Bunyi Vokal

No. Data
Glos
Variasi I
Variasi II
AT-01      
1. Kepala
  [sirah]
[sirah]
AT-02
2. Rambut
  [buU?]
[buU?]
AT-05
3. Mata
  [panOn]
[panOn]
AT-07
4. Bibir
  [bibir]
[bibir]
AT-08
5. Mulut
  [mulUt]
[mulUt]
AT-10
6. Lidah
  [letah]
[letah]
AT-12
7. Kuku
  [kuku]
[kuku]
MS-01
8. Manis
  [amis]
[amis]
MS-02
9. Pahit
  [paIt]
[paIt]
MS-04
10. Rajin
  [rajin]
[rajin]
MS-05
11. Lembut
  [halus]
[halus]
MS-09
12. Gelap
  [powƐ?]
[powƐ?]
MS-18
13. Dingin
  [tiIs]
[tiIs]
MS-19
14. Cantik
  [gǝlis]
[gǝlis]
K-07
15. Lari
  [lumpat]
[lumpat]
K-09
16. Masak
 [nyangU?]
 [nyangU?]
K-10
17. Panjat
  [naƐ?]
  [naƐ?]

Kosakata pada Tabel 1 merupakan kata-kata yang memiliki persamaan bunyi vokal. Persamaan bunyi vokal tersebut terlihat pada kesamaan bunyi-bunyi yang dilafalkan. Berikut ini kata-kata yang memiliki kesamaan bunyi vokal.
1.  Data yang memiliki kesamaan bunyi [i], antara lain AT-01, AT-07, MS-01, dan MS-04. Bunyi [i] pada keempat data tersebut memiliki ciri-ciri, yaitu tinggi, depan, dan takbulat. Bunyi [i] dikatakan tinggi karena bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah meninggi, mendekati langit-langit keras. Lalu, bunyi [i] dikatakan depan karena bunyi yang dihasilkan dengan cara bagian depan lidah dinaikkan.  Selanjutnya, bunyi [i] dikatakan takbulat karena bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi bibir merata atau tidak bulat.

2.  Data yang memiliki kesamaan bunyi [I], antara lain MS-18 dan MS-02. Bunyi [I] pada kedua data tersebut memiliki ciri-ciri, yaitu agak tinggi dan takbulat. Bunyi [I] dikatakan agak tinggi karena bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah meninggi sehingga agak mendekati langit-langit keras. Kemudian, bunyi [I] dikatakan takbulat karena bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi bibir merata atau tidak bulat.

3.  Data yang memiliki kesamaan bunyi [e], yaitu AT-10. Bunyi [e] pada data AT-10 memiliki ciri-ciri, yaitu agak tinggi, depan, dan takbulat. Bunyi [e] dikatakan agak tinggi karena bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah meninggi sehingga agak mendekati langit-langit keras. Lalu, bunyi [e] dikatakan depan karena bunyi yang dihasilkan dengan cara bagian depan lidah dinaikkan.  Selanjutnya, bunyi [e] dikatakan takbulat karena bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi bibir merata atau tidak bulat.

4.  Data yang memiliki kesamaan bunyi [Ɛ], antara lain MS-09 dan K-10. Bunyi [Ɛ] pada kedua data tersebut memiliki ciri-ciri, yaitu agak rendah, depan, dan takbulat. Bunyi [Ɛ] dikatakan agak rendah karena bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah agak merendah sehingga agak menjauhi langit-langit keras. Kemudian, bunyi [Ɛ] dikatakan depan karena bunyi yang dihasilkan dengan cara bagian depan lidah dinaikkan. Selanjutnya, bunyi [Ɛ] dikatakan takbulat karena bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi bibir merata atau tidak bulat.

5.  Data yang memiliki kesamaan bunyi [ǝ], yaitu MS-19. Bunyi [ǝ] pada data MS-19 memiliki ciri-ciri tengah, pusat, dan takbulat. Bunyi [ǝ] dikatakan tengah karena bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah di tengah. Lalu, bunyi [ǝ] dikatakan pusat karena bunyi yang dihasilkan dengan cara lidah merata,tidak ada bagian yang dinaikkan. Kemudian, bunyi [ǝ] dikatakan takbulat karena bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi bibir merata atau tidak bulat.

6.  Data yang memiliki kesamaan bunyi [u], antara lain AT-12, MS-05, dan K-07. Bunyi [u] pada ketiga data tersebut memiliki ciri-ciri, yaitu tinggi, belakang, dan bulat. Bunyi [u] dikatakan tinggi karena bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah meninggi, mendekati langit-langit keras.  Kemudian, bunyi [u] dikatakan belakang karena bunyi yang dihasilkan dengan cara bagian belakang lidah dinaikkan. Selanjutnya, bunyi [u] dikatakan bulat karena karena bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi bibir berbentuk bulat.

7.  Data yang memiliki kesamaan bunyi [U], antara lain AT-02, AT-08, dan K-09. Bunyi [U] pada ketiga data tersebut memiliki ciri-ciri, yaitu agak tinggi, belakang, dan bulat. Bunyi [U] dikatakan agak tinggi karena bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah meninggi sehingga agak mendekati langit-langit keras. Lalu, bunyi [U] dikatakan belakang karena bunyi yang dihasilkan dengan cara bagian belakang lidah dinaikkan. Selanjutnya, bunyi [U] dikatakan bulat karena karena bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi bibir berbentuk bulat.

8.  Data yang memiliki kesamaan bunyi [O], yaitu AT-05. Bunyi [O] pada data AT-05 memiliki ciri-ciri, yaitu agak rendah, belakang, dan bulat. Bunyi [O] dikatakan agak rendah karena bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah agak merendah sehingga agak menjauhi langit-langit keras. Lalu, bunyi [O] dikatakan belakang karena bunyi yang dihasilkan dengan cara bagian belakang lidah dinaikkan. Kemudian, bunyi [O] dikatakan bulat karena karena bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi bibir berbentuk bulat.

Persamaan bunyi vokal di atas dapat disebabkan adanya kesepakatan antar  masyarakat penutur bahasa Sunda dalam melafalkan bunyi pada kata-kata tersebut sehingga memudahkan dalam berkomuni-kasi.

C. Variasi Kata
Selain variasi bunyi dan persamaan bunyi, hasil pengamatan juga menemukan variasi kata dalam bahasa Sunda. Variasi kata tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Variasi Kata dalam Bahasa Sunda

No. Data
Glos
Variasi I
Variasi II
AT-03
1. Telinga
[cǝli?]
[kupiŋ]
AT-04
2. Muka
[rayik’]
[bǝuŋǝt]
AT-11
3. Tangan
[lǝŋǝn]
[panaŋan]
AT-13
4. Jari
[curU?]
[jari]
AT-15
5. Kaki
[suku?]
[sampeyan]
MS-03
6. Malas
[sǝbUl]
[saŋhe?]
MS-06
7. Cepat
[eŋgal]
[tereh]
MS-07
8. Lambat
[laun]
[lila]
MS-08
9. Bersih
[rǝsIk’]
[bersih]
MS-10
10. Tua
[sǝpuh]
[kolot]
MS-11
11. Banyak
[cǝUr]
[loba?]
MS-12
12. Sedikit
[sǝkǝdit]
[saǝtik’]
MS-13
13. Jauh
[tǝbih]
[jauh]
MS-14
14. Dekat
[cakǝt]
[dǝkǝt]
MS-15
15. Kuat
[bǝdas]
[kuat]
MS-16
16. Sehat
[waras]
[cagǝr]
MS-17
17. Panas
[harǝdaŋ]
[panas]
MS-20
18. Sakit
[kudur]
[gǝriŋ]
K-01
19. Makan
[uwaŋ]
[dahar]
K-02
20. Minum
[ŋǝlǝkǝt]
[muh]
K-03
21. Duduk
[cali?]
[liŋgih]
K-04
22. Tidur
[tilem]
[bobo?]
K-06
23. Jalan
[indIt]
[lǝmpaŋ]
K-08
24. Mandi
[iba?]
[siram]

Kosakata pada Tabel 2 merupakan variasi kata dalam bahasa Sunda. Hal ini disebabkan perbedaan tingkat kehalusan bahasa dan kesepakatan penggunaan bahasa di setiap daerahnya. Bahasa Sunda pada Variasi I merupakan bahasa yang halus, sedangkan pada Variasi II merupakan bahasa yang kasar karena letak geografisnya berdekatan dengan Paneglang sehingga mendapat pengaruh dari luar, yaitu menyerap kosakata pada dialek Paneglang.


SIMPULAN
Variasi fonologis dalam bahasa Sunda terjadi pada bunyi vokal dan bunyi konsonan yang menempati kata dengan tidak mengubah maknanya. Beberapa kata yang mengalami variasi bunyi, mengalami perbedaan pada penggunaan kata, sedangkan yang lainnya tetap pada makna dan penggunaan yang sama dalam kata.

Fonem-fonem, baik vokal maupun konsonan yang mengalami variasi tersebut jika dilihat dari struktur fonologisnya memiliki perbedaan, baik tempat artikulasi maupun cara artikulasinya.

Bahasa Sunda memiliki ciri khas pada penggunaan fonem /e/, /ǝ/, dan /eu/ dan juga intonasi pada saat melafalkan kata-kata atau bahasanya.

Bahasa-bahasa di dunia memiliki sistem pengaturan fonem atau biasa disebut fonotaktik yang berbeda. Dengan adanya sistem tersebut memungkinkan fonem-fonem yang terdapat dalam sebuah bahasa dapat diatur secara manasuka (arbitrer) dan dapat disetujui oleh masyarakat penutur (konvensional).

Oleh karena itu, meskipun terdapat dua atau lebih fonem yang berbeda cirinya dalam sebuah kata, tetap dapat diterima oleh masyarakat penutur tanpa harus mempertimbangkan kesamaan ciri atau pasangan minimum fonem tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Djajasudarma, Fatimah. 2010. Metoda Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Refika Aditama.

Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Muslich, Masnur. 2008. Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Prawiraatmaja, Dudu dkk. 1986. Perkembangan Bahasa Sunda Sesudah Perang Dunia II. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengem-bangan Bahasa.

Wahya. 2015. Bunga Rampai: Penelitian Bahasa dalam Perspektif Geografis. Bandung: Semiotika.

Zulaeha, Ida. 2010. Dialektologi: Dialek Geografi dan Dialek Sosial. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

UNSUR-UNSUR INTRINSIK THE LION KING

Cerpen Pemandangan Perut dalam Teori Konvensi

Metode Rekonstruksi (Mata Kuliah Perbandingan Bahasa Nusantara)