VARIASI BUNYI DALAM BAHASA SUNDA
VARIASI BUNYI DALAM BAHASA SUNDA
(VARIASI BUNYI VOKAL DAN BUNYI KONSONAN)
Trie Utami
FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah
Universitas Lampung
E-mail: trie.utami333@gmail.com
Abstrak
Penelitian
ini bertujuan mendeskripsikan variasi bunyi dalam bahasa Sunda terutama variasi
fonologis pada bunyi vokal dan bunyi konsonan. Lokasi pengamatan dalam
penelitian ini di Kampung Kebon Kelapa Kecamatan Teluk Betung Selatan, Bandar
Lampung. Sumber data penelitian yaitu masyarakat penutur bahasa Sunda. Penelitian
ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Langkah penelitian berupa tahap
penyediaan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian data. Pada tahap
penyediaan data menggunakan metode cakap dengan teknik cakap semuka, teknik
catat, dan teknik rekam. Pada tahap analisis data menggunakan pendekatan
sinkronis. Penelitian menyimpulkan bahwa ditemukan variasi bunyi vokal pada [u]
dengan [e], variasi bunyi konsonan pada [k] dengan [h], serta variasi bunyi
vokal dan konsonan pada [h] dengan [i] dan [u] dengan [h].
Kata
kunci: variasi bunyi, bunyi vokal, bunyi konsonan
PENDAHULUAN
Pada
umumnya manusia berkomunikasi melalui bahasa. Seperti kita ketahui bahwa fungsi
utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi atau alat interaksi yang hanya
dimiliki manusia (Chaer dan Agustina, 2010:
11).
Tiap
bahasa diwujudkan oleh bunyi. Bunyi pada bahasa adalah bunyi-bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bunyi bahasa dibuat oleh manusia untuk
mengungkapkan sesuatu. Bunyi bahasa dapat terwujud dalam nyanyian atau dalam
tuturan.
Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan
membicarakan runtunan bunyi-bunyi bahasa ini disebut fonologi, yang secara
etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi, dan logi
yaitu ilmu. Menurut hierarki satuan bunyi yang menjadi objek studinya, fonologi dibedakan menjadi fonetik dan
fonemik. Secara umum, fonetik biasa dijelaskan sebagai cabang studi fonologi
yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memerhatikan apakah bunyi-bunyi
tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Sementara itu,
fonemik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memerhatikan
fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna (Muslich, 2008:
3).
Dalam
menggunakan suatu bahasa sering kali dijumpai perbedaan pengucapan yang disebut
variasi bunyi. Perbedaan pengucapan biasanya berupa variasi-variasi ucapan
pemakaian bahasa, baik secara sosial maupun geografis. Variasi-variasi ucapan
hanya bisa dijelaskan dengan tepat kalau memanfaatkan hasil analisis fonologi
(Muslich, 2008: 3).
Perbedaan
fonologi dapat pula dikelompokkan atas 4 kelompok, yaitu perbedaan yang berupa
korespondensi vokal, variasi vokal, korespondensi konsonan, dan variasi
konsonan (Mahsun, 1995: 51).
Dalam
penelitian ini difokuskan membahas perbedaan fonologi bunyi vokal dan bunyi
konsonan serta ingin mengungkap bagaimana variasi fonologi bunyi vokal dan
bunyi konsonan dalam bahasa Sunda.
Perbedaan
fonetik merupakan perbedaan yang berada di bidang fonologi dan umumnya penutur
dialek atau bahasa itu tidak menyadari adanya perbedaan tersebut.
Perbedaan
di antara leksem-leksem yang menyatakan makna yang sama itu berupa variasi dan
perbedaan itu hanya terjadi pada satu atau dua bunyi yang sama urutannya (Zuleha,
2010: 41).
Leksem-leksem
yang merupakan realisasi dari satu makna, yang terdapat di antara daerah-daerah
pengamatan itu ditentukan sebagai perbedaan fonologi apabila (1) perbedaan yang
terdapat pada leksem-leksem yang menyatakan makna yang sama itu muncul secara
teratur atau merupakan korespon-densi dan (2) perbedaan di antara leksem-leksem
yang menyatakan makna yang sama itu berupa variasi dan perbedaan itu hanya
terjadi pada satu atau dua bunyi yang sama urutannya (Mahsun, 1995: 23).
Perbedaan
fonologi yang terjadi di antara daerah-daerah pengamatan (dialek atau
subdialek) atau di antara bahasa-bahasa muncul sebagai akibat dari perbedaan
dalam merefleksikan prafonem atau protofonem yang terdapat pada prabahasa atau
protobahasa (Mahsun, 1995: 25).
Wijayakusumah
dalam Prawiraatmaja dkk. (1986: 17) mengemukakan bahwa dalam bahasa Sunda
memiliki tingkat bahasa. Tingkat bahasa di sini berarti sistem yang terdapat
dalam bahasa Sunda mengekspresikan tingkat-tingkat rasa hormat yang
bersangkut-paut dengan relasi sosial dan orang-orang yang memper-gunakan bahasa
Sunda. Dalam sistem ini terdapat apa yang disebut dalam bahasa Sunda perbedaan
kasar—lemas. Perbedaan ini mengenai kata-kata, bentuk kata, intonasi, dan sudah
menjadi kategori-kategori dalam bahasa Sunda, sehingga orang Sunda tidak saja
berbicara tentang kata-kata kasar dan halus, tetapi juga tentang bahasa kasar
dan batas lemes.
Masyarakat
penutur di Kampung Kebon Kepala selain menggunakan bahasa Indonesia juga menggunakan
bahasa Sunda dalam berkomunikasi sehari-hari, baik dalam penyapaan, sebutan
kekerabatan, maupun berkomunikasi seutuhnya. Sebutan kekerabatan yang biasa
digunakan masyarakat di Kampung Kebon Kelapa, seperti teteh, abah,
dan lain-lain. Masyarakat penutur di Kampung Kebon Kepala terdapat masyarakat
yang menggunakan bahasa Sunda halus dan bahasa Sunda kasar.
METODE
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu deskriptif kualitatif. Metode deskriptif
adalah metode yang bertujuan membuat deskripsi; maksudnya membuat gambaran,
lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta
hubungan fenomena-fenomena yang diteliti (Djajasudarma, 2010: 9).
Data
dalam penelitian ini berupa variasi bunyi. Sumber data dalam penelitian ini
masyarakat penutur bahasa Sunda dialek Sampea dengan informan bernama Ahmad
Darmuji dan bahasa Sunda dialek Sodong dengan informan bernama Kusnawati.
Informan
dalam penelitian ini yakni dua warga di Kampung Kebon Kelapa Kecamatan Teluk
Betung Selatan, Bandar Lampung yang merupakan masyarakat penutur bahasa Sunda.
Kedua informan tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Nama : Ahmad
Darmuji
Usia : 80 tahun
Tempat lahir : Desa Sampea, Bogor
Pekerjaan :
Tidak bekerja
2.
Nama : Kusnawati
Usia : 50 tahun
Tempat lahir : Desa Sodong Kec. Saketi,
Jawa Barat
Pekerjaan : Pedagang
Penelitian
ini mengikuti prosedur yang dikemukakan oleh Sudaryanto dalam Mahsun (1995: 93)
yang dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahap penyediaan data, tahap analisis
data, dan tahap penyajian data. Tahap penyediaan data meliputi (1) menentukan
daerah pemakaian bahasa Sunda yang diteliti, (2) mempersiapkan instrumen yang
berupa daftar pertanyaan meliputi kosakata yang menunjukkan anggota tubuh, kata
sifat, dan kegiatan sehari-hari, dan (3) pelaksanaan penelitian lapangan.
Kemudian, tahap analisis data meliputi (1) menata data hasil catatan dan
rekaman dalam bentuk transkripsi dan (2) menganalisis temuan kata yang memiliki
perbedaan bunyi atau variasi bunyi. Lalu, tahap penyajian data berupa (1)
menyajikan dan membahas temuan kata yang memiliki perbedaan bunyi atau variasi
bunyi dan (2) menyimpulkan hasil analisis.
Pada
tahap penyediaan data menggunakan metode cakap dengan teknik cakap semuka,
teknik catat, dan teknik rekam (Mahsun, 1995: 94—98). Penjelasan ketiga teknik
tersebut sebagai berikut.
1. Teknik cakap semuka
dilakukan peneliti dengan mendatangi langsung setiap daerah pengamatan dan
melakukan percakapan dengan para informan.
2. Teknik catat dilakukan
peneliti untuk mencatat informasi berupa bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh
informan.
3. Teknik rekam dilakukan
peneliti untuk merekam bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh informan dan sebagai
alat bantu untuk mengecek kembali perbedaan bunyi yang dihasilkan informan.
Pada
tahap analisis data menggunakan pendekatan sinkronis. Pendekatan sinkronis
dilakukan ketika menganalisis leksikon untuk mengungkapkan perbedaan bentuk,
yakni perbedaan fonetis, leksikal, dan morfologis (Wahya, 2015: 23).
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan ditemukan kosakata yang memiliki
variasi bunyi, antara lain variasi bunyi vokal, bunyi konsonan, serta bunyi vokal
dan konsonan. Selain itu, hasil pengamatan juga menemukan kosakata yang
memiliki persamaan bunyi vokal dan variasi kata. Berikut ini masing-masing
penjelasannya.
A. Variasi Bunyi
Variasi bunyi dalam bahasa Sunda berupa variasi bunyi vokal,
bunyi konsonan, serta bunyi vokal dan konsonan. Berikut ini masing-masing
penjelasan variasi bunyi tersebut.
1. Variasi Bunyi Vokal
Variasi
bunyi vokal yang ditemukan dalam bahasa Sunda, yakni bunyi [u] pada kata [bǝutǝŋ] dengan bunyi [e] pada kata [bǝtǝŋ] yang sama-sama memiliki makna perut.
Perbedaan fonologis antara bunyi [u] dan [e] merupakan perbedaan pada bunyi
vokoid. Perbedaan keduanya hanya terletak pada pengaturan posisi lidah dan
bibir tanpa melibatkan penyempitan atau penutupan pada daerah artikulasi. Posisi
lidah pada bunyi [u] berada pangkal lidah sebelah kiri, sedangkan pada bunyi [e]
berada pada tepi lidah sebelah kanan.
Jika dilihat dari perwujudannya, terjadi perubahan leksikal
parsial berupa penghilangan fonem /u/. Bahasa Sunda halus menggunakan fonem /u/
pada kata [bǝutǝŋ] untuk mengartikan makan, sedangkan bahasa Sunda kasar tidak
menggunakan fonem /u/ sehingga pelafalan bunyinya [bǝtǝŋ].
2. Variasi Bunyi Konsonan
Variasi
bunyi konsonan yang ditemukan dalam bahasa Sunda, yakni bunyi [k] pada [kuntu?]
dengan bunyi [h] pada [huntu] yang sama-sama memiliki arti gigi.
Perbedaan fonologis antara bunyi [k] dan [h] merupakan
perbedaan pada bunyi kontoid. Bunyi [k] merupakan bunyi dorso-velar,
yaitu bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan pangkal lidah dan langit-langit lunak, sedangkan bunyi [h]
merupakan bunyi laringal, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan
tenggorok (laring).
Jika dilihat dari perwujudannya, terjadi perubahan leksikal
parsial berupa penggantian konsonan /k/ menjadi /h/ pada awal kata dan
penghilangan fonem /k/ pada akhir kata sehingga menghasilkan variasi bunyi
antara [kuntu?] dan [huntu].
3. Variasi Bunyi Vokal dan Konsonan
Variasi
bunyi vokal dan konsonan yang ditemukan dalam bahasa Sunda, antara lain bunyi
[h] pada [hiruŋ] dengan bunyi [i]
pada kata [iruŋ] yang sama-sama
memiliki arti hidung. Selain itu, ditemukan juga variasi bunyi [u] pada [udaŋ] dengan bunyi [h] pada [hudaŋ] yang memiliki arti bangun.
Kedua kata di atas memiliki perbedaan fonologis
antara bunyi vokoid, yaitu pada bunyi [i] dan [u] dengan bunyi kontoid, yaitu
bunyi [h]. Jelas sekali perbedaan fonologis tersebut, bunyi vokoid dihasilkan
tidak melibatkan penyempitan dan penutupan pada daerah atikulasi, sedangkan
bunyi kontoid melibatkannya.
Jika
dilihat dari perwujudannya, fonem /h/ pada kata [hiruŋ] dan fonem /i/ pada kata [iruŋ] yang sama-sama memiliki arti hidung mengalami penghilangan
konsonan /h/ pada awal kata.
Variasi
bunyi pada fonem /u/ pada kata [udaŋ]
dan fonem /h/ pada kata [hudaŋ] yang
memiliki arti bangun mengalami perubahan leksikal parsial berupa penambahan
fonem /h/ pada awal kata.
B. Persamaan Bunyi Vokal
Selain variasi bunyi, hasil pengamatan juga menemukan
persamaan bunyi vokal dalam bahasa Sunda. Persamaan bunyi vokal tersebut dapat
dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Kosakata yang Memiliki Persamaan Bunyi Vokal
No. Data
|
Glos
|
Variasi I
|
Variasi II
|
AT-01
|
1. Kepala
|
[sirah]
|
[sirah]
|
AT-02
|
2. Rambut
|
[buU?]
|
[buU?]
|
AT-05
|
3. Mata
|
[panOn]
|
[panOn]
|
AT-07
|
4. Bibir
|
[bibir]
|
[bibir]
|
AT-08
|
5. Mulut
|
[mulUt]
|
[mulUt]
|
AT-10
|
6. Lidah
|
[letah]
|
[letah]
|
AT-12
|
7. Kuku
|
[kuku]
|
[kuku]
|
MS-01
|
8. Manis
|
[amis]
|
[amis]
|
MS-02
|
9. Pahit
|
[paIt]
|
[paIt]
|
MS-04
|
10. Rajin
|
[rajin]
|
[rajin]
|
MS-05
|
11. Lembut
|
[halus]
|
[halus]
|
MS-09
|
12. Gelap
|
[powƐ?]
|
[powƐ?]
|
MS-18
|
13. Dingin
|
[tiIs]
|
[tiIs]
|
MS-19
|
14. Cantik
|
[gǝlis]
|
[gǝlis]
|
K-07
|
15. Lari
|
[lumpat]
|
[lumpat]
|
K-09
|
16. Masak
|
[nyangU?]
|
[nyangU?]
|
K-10
|
17. Panjat
|
[naƐ?]
|
[naƐ?]
|
Kosakata pada Tabel 1 merupakan kata-kata yang
memiliki persamaan bunyi vokal. Persamaan bunyi vokal tersebut terlihat pada kesamaan
bunyi-bunyi yang dilafalkan. Berikut ini kata-kata yang memiliki kesamaan bunyi
vokal.
1. Data
yang memiliki kesamaan bunyi [i], antara lain AT-01, AT-07,
MS-01, dan MS-04. Bunyi [i] pada keempat data tersebut memiliki ciri-ciri,
yaitu tinggi, depan, dan takbulat. Bunyi [i] dikatakan tinggi karena bunyi yang
dihasilkan dengan cara posisi lidah meninggi, mendekati langit-langit keras.
Lalu, bunyi [i] dikatakan depan karena bunyi yang dihasilkan dengan cara bagian
depan lidah dinaikkan. Selanjutnya, bunyi
[i] dikatakan takbulat karena bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi bibir
merata atau tidak bulat.
2. Data yang memiliki kesamaan bunyi [I], antara lain MS-18
dan MS-02. Bunyi [I] pada kedua data tersebut memiliki ciri-ciri, yaitu agak tinggi
dan takbulat. Bunyi [I] dikatakan agak tinggi karena bunyi yang dihasilkan dengan
cara posisi lidah meninggi sehingga agak mendekati langit-langit keras. Kemudian,
bunyi [I] dikatakan takbulat karena bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi
bibir merata atau tidak bulat.
3. Data
yang memiliki kesamaan bunyi [e], yaitu AT-10. Bunyi
[e] pada data AT-10 memiliki ciri-ciri, yaitu agak tinggi, depan, dan takbulat.
Bunyi [e] dikatakan agak tinggi karena bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi
lidah meninggi sehingga agak mendekati langit-langit keras. Lalu, bunyi [e]
dikatakan depan karena bunyi yang dihasilkan dengan cara bagian depan lidah
dinaikkan. Selanjutnya, bunyi [e]
dikatakan takbulat karena bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi bibir merata
atau tidak bulat.
4. Data
yang memiliki kesamaan bunyi [Ɛ], antara lain MS-09 dan K-10. Bunyi [Ɛ] pada kedua
data tersebut memiliki ciri-ciri, yaitu agak rendah, depan, dan takbulat. Bunyi
[Ɛ] dikatakan
agak rendah karena bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah agak merendah
sehingga agak menjauhi langit-langit keras. Kemudian, bunyi [Ɛ] dikatakan depan karena bunyi
yang dihasilkan dengan cara bagian depan lidah dinaikkan. Selanjutnya, bunyi [Ɛ] dikatakan takbulat karena bunyi
yang dihasilkan dengan cara posisi bibir merata atau tidak bulat.
5. Data
yang memiliki kesamaan bunyi [ǝ], yaitu MS-19. Bunyi [ǝ] pada data MS-19 memiliki ciri-ciri tengah, pusat, dan takbulat. Bunyi [ǝ] dikatakan tengah karena bunyi yang
dihasilkan dengan cara posisi lidah di tengah. Lalu, bunyi [ǝ] dikatakan pusat karena bunyi yang
dihasilkan dengan cara lidah merata,tidak ada bagian yang dinaikkan. Kemudian,
bunyi [ǝ] dikatakan
takbulat karena bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi bibir merata atau tidak
bulat.
6. Data yang memiliki kesamaan bunyi [u], antara lain AT-12, MS-05,
dan K-07. Bunyi [u] pada ketiga data tersebut memiliki ciri-ciri, yaitu tinggi, belakang, dan
bulat. Bunyi [u] dikatakan tinggi karena bunyi yang dihasilkan dengan cara
posisi lidah meninggi, mendekati langit-langit keras. Kemudian, bunyi [u] dikatakan belakang karena bunyi
yang dihasilkan dengan cara bagian belakang lidah dinaikkan. Selanjutnya, bunyi
[u] dikatakan bulat karena karena bunyi
yang dihasilkan dengan cara posisi bibir berbentuk bulat.
7. Data yang memiliki kesamaan bunyi [U], antara lain AT-02, AT-08,
dan K-09. Bunyi [U] pada ketiga data tersebut memiliki ciri-ciri, yaitu agak
tinggi, belakang, dan bulat. Bunyi [U] dikatakan agak tinggi karena bunyi yang
dihasilkan dengan cara posisi lidah meninggi sehingga agak mendekati
langit-langit keras. Lalu, bunyi [U] dikatakan belakang karena bunyi
yang dihasilkan dengan cara bagian belakang lidah dinaikkan. Selanjutnya, bunyi
[U] dikatakan bulat karena karena bunyi
yang dihasilkan dengan cara posisi bibir berbentuk bulat.
8. Data
yang memiliki kesamaan bunyi [O], yaitu AT-05. Bunyi [O] pada data AT-05 memiliki ciri-ciri, yaitu agak
rendah, belakang, dan bulat. Bunyi [O] dikatakan agak rendah karena bunyi yang
dihasilkan dengan cara posisi lidah agak merendah sehingga agak menjauhi
langit-langit keras. Lalu, bunyi [O] dikatakan belakang karena bunyi
yang dihasilkan dengan cara bagian belakang lidah dinaikkan. Kemudian, bunyi
[O] dikatakan bulat karena karena bunyi
yang dihasilkan dengan cara posisi bibir berbentuk bulat.
Persamaan bunyi vokal di atas dapat disebabkan adanya
kesepakatan antar masyarakat penutur bahasa
Sunda dalam melafalkan bunyi pada kata-kata tersebut sehingga memudahkan dalam
berkomuni-kasi.
C. Variasi Kata
Selain variasi bunyi dan persamaan bunyi, hasil
pengamatan juga menemukan variasi kata dalam bahasa Sunda. Variasi kata tersebut
dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Variasi Kata dalam Bahasa Sunda
No. Data
|
Glos
|
Variasi I
|
Variasi II
|
AT-03
|
1.
Telinga
|
[cǝli?]
|
[kupiŋ]
|
AT-04
|
2.
Muka
|
[rayik’]
|
[bǝuŋǝt]
|
AT-11
|
3.
Tangan
|
[lǝŋǝn]
|
[panaŋan]
|
AT-13
|
4.
Jari
|
[curU?]
|
[jari]
|
AT-15
|
5.
Kaki
|
[suku?]
|
[sampeyan]
|
MS-03
|
6.
Malas
|
[sǝbUl]
|
[saŋhe?]
|
MS-06
|
7.
Cepat
|
[eŋgal]
|
[tereh]
|
MS-07
|
8.
Lambat
|
[laun]
|
[lila]
|
MS-08
|
9.
Bersih
|
[rǝsIk’]
|
[bersih]
|
MS-10
|
10.
Tua
|
[sǝpuh]
|
[kolot]
|
MS-11
|
11.
Banyak
|
[cǝUr]
|
[loba?]
|
MS-12
|
12.
Sedikit
|
[sǝkǝdit]
|
[saǝtik’]
|
MS-13
|
13.
Jauh
|
[tǝbih]
|
[jauh]
|
MS-14
|
14.
Dekat
|
[cakǝt]
|
[dǝkǝt]
|
MS-15
|
15.
Kuat
|
[bǝdas]
|
[kuat]
|
MS-16
|
16.
Sehat
|
[waras]
|
[cagǝr]
|
MS-17
|
17.
Panas
|
[harǝdaŋ]
|
[panas]
|
MS-20
|
18.
Sakit
|
[kudur]
|
[gǝriŋ]
|
K-01
|
19.
Makan
|
[uwaŋ]
|
[dahar]
|
K-02
|
20.
Minum
|
[ŋǝlǝkǝt]
|
[muh]
|
K-03
|
21.
Duduk
|
[cali?]
|
[liŋgih]
|
K-04
|
22.
Tidur
|
[tilem]
|
[bobo?]
|
K-06
|
23.
Jalan
|
[indIt]
|
[lǝmpaŋ]
|
K-08
|
24.
Mandi
|
[iba?]
|
[siram]
|
Kosakata pada Tabel 2 merupakan variasi kata dalam
bahasa Sunda. Hal ini disebabkan perbedaan tingkat kehalusan bahasa dan kesepakatan
penggunaan bahasa di setiap daerahnya. Bahasa Sunda pada Variasi I merupakan
bahasa yang halus, sedangkan pada Variasi II merupakan bahasa yang kasar karena
letak geografisnya berdekatan dengan Paneglang sehingga mendapat pengaruh dari
luar, yaitu menyerap kosakata pada dialek Paneglang.
SIMPULAN
Variasi fonologis dalam bahasa Sunda terjadi pada bunyi
vokal dan bunyi konsonan yang menempati kata dengan tidak mengubah maknanya.
Beberapa kata yang mengalami variasi bunyi, mengalami perbedaan pada penggunaan
kata, sedangkan yang lainnya tetap pada makna dan penggunaan yang sama dalam
kata.
Fonem-fonem, baik vokal maupun konsonan yang mengalami
variasi tersebut jika dilihat dari struktur fonologisnya memiliki perbedaan,
baik tempat artikulasi maupun cara artikulasinya.
Bahasa Sunda memiliki ciri khas pada penggunaan fonem /e/, /ǝ/, dan /eu/ dan juga intonasi
pada saat melafalkan kata-kata atau bahasanya.
Bahasa-bahasa di dunia memiliki sistem pengaturan
fonem atau biasa disebut fonotaktik
yang berbeda. Dengan adanya sistem tersebut memungkinkan fonem-fonem yang
terdapat dalam sebuah bahasa dapat diatur secara manasuka (arbitrer) dan dapat
disetujui oleh masyarakat penutur (konvensional).
Oleh karena itu, meskipun terdapat dua atau lebih fonem
yang berbeda cirinya dalam sebuah kata, tetap dapat diterima oleh masyarakat
penutur tanpa harus mempertimbangkan kesamaan ciri atau pasangan minimum fonem
tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Djajasudarma, Fatimah. 2010. Metoda Linguistik: Ancangan Metode
Penelitian dan Kajian. Bandung: Refika Aditama.
Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis: Sebuah Pengantar.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Muslich, Masnur. 2008. Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan
Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Prawiraatmaja, Dudu dkk. 1986. Perkembangan Bahasa Sunda Sesudah
Perang Dunia II. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengem-bangan Bahasa.
Wahya. 2015. Bunga Rampai: Penelitian Bahasa dalam Perspektif
Geografis. Bandung: Semiotika.
Zulaeha, Ida. 2010. Dialektologi: Dialek Geografi dan Dialek
Sosial. Yogyakarta: Graha Ilmu.
keren yank :*
BalasHapusTerima kasih sygku 😉
BalasHapus