Teori Kesusastraan




TEORI KESUSASTRAAN


Disusun oleh:
1.      Devi Kusmitha Sari                       1113041018
2.      Gita Andriana                                1113041030
3.      Lismayana                                     1113041036
4.      Reni Apriyanti                               1113041052
5.      Trie Utami                                     1113041068


Dosen Pengampu        :  Dr. Muhammad Fuad, M.Hum.
Mata Kuliah                :  Kajian Fiksi dan Prosa






PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG


KATA PENGANTAR


Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya, kami diberikan kelancaran dalam menyelesaikan makalah ini tepat pada waktu yang telah ditentukan. Kami membuat makalah dengan judul “Teori Kesusastraan”.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Muhammad Fuad, M.Hum. selaku dosen pengampu mata kuliah Kajian Fiksi dan Prosa. Tujuan dari penyusunan makalah ini ialah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kajian Fiksi dan Prosa yang telah diberikan dosen pengampu agar kami lebih memahami teori kesusastraan.
Penulis menyadari bahwa di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun demi penyempurnaan dan perbaikan makalah ini selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi seluruh pembaca.


Bandar Lampung,  Maret 2014


        Penulis











DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................ ii

I.   PENDAHULUAN
        1.1       Latar Belakang Masalah.................................................................... 1
        1.2    Rumusan Masalah............................................................................. 2
        1.3    Tujuan Masalah ................................................................................ 2

II.  PEMBAHASAN
        2.1    Pengertian Kesusastraan.................................................................... 3
        2.2    Sifat-Sifat Sastra............................................................................... 5
        2.3    Fungsi Sastra..................................................................................... 7
        2.4    Proses Penciptaan Kesusastraan ....................................................... 9
        2.5    Bentuk-Bentuk Kesusastraan .......................................................... 10
        2.6    Wilayah Kesusastraan...................................................................... 13
        2.7    Aliran-Aliran Kesusastraan.............................................................. 14
        2.8    Hubungan Teori Kesusastraan, Teori Kritik Sastra,
                dan Teori Sejarah Sastra................................................................... 16

III. PENUTUP
       3.1    Kesimpulan ...................................................................................... 18
            3.2    Saran................................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 19





I.    PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang
Sebuah ciptasastra yang indah, bukanlah karena bahasanya yang beralun-alun dan penuh irama. Ia harus dilihat secara keseluruhan: temanya, amanatnya,  dan strukturnya. Pada nilai-nilai yang terkandung di dalam ciptasastra itu.
Sebuah karya sesungguhnya hanya sebagai artefak. Artefak jika tidak dimanfaatkan secara maksimal hanya akan menjadi sebuah artefak yang dipajang.  Begitu juga karya sastra, jika tidak dibaca atau dinikmati kemudian mengambil manfaat yang terkandung di dalamnya.  Manfaat ini harus diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari.
Sifat-sifat khas sastra muncul paling jelas bila dilihat dari aspek referensialnya (acuan). Marilah kita menengok genre sastra tradisional seperti lirik, epik, dan drama. Dalam ketiga jenis sastra itu, acuannya adalah dunia fiksi atau imajinasi.
Dalam kesusastraan ada beberapa faktor yang menjadi bahan pertimbangan, yaitu faktor persoalan yang diungkapkan, keindahan pengungkapan, dan  faktor bahasa atau kata. Dalam kesusastraan Indonesia, yang dimaksudkan adalah pengungkapan persoalan-persoalan dan nilai-nilai tentang hidup (manusia dan kemanusiaan), terutama persoalan-persoalan dan nilai-nilai lain yang berhubungan dengan bangsa Indonesia serta diungkapkan dengan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai media.
Aliran-aliran dalam kesusastraan tidaklah dijumpai secara persis di dalam sebuah ciptasastra. Sebuah ciptasastra tidaklah diwarnai suatu aliran saja. Yang dapat ditemui di dalam sebuah ciptasastra adalah unsur-unsur dari aliran itu.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penulis kemukakan diatas, maka dapat dirumuskan masalah dalam pembahasan makalah  ini sebagai berikut :
1.    Apa pengertian kesusastraan?
2.    Apa saja sifat-sifat sastra?
3.    Apa fungsi dari sastra?
4.    Bagaimana proses penciptaan kesusastraan?
5.    Bagaimana bentuk, wilayah, dan aliran dalam kesusastraan?
6.    Bagaimana hubungan teori kesusastraan, teori kritik sastra, dan teori sejarah sastra?

1.3 Tujuan Penulisan
       Adapun tujuan yang  ingin dicapai dalam makalah ini ialah:
1.  Untuk mengetahui pengertian dan asal mula kata kesusastraan.
2.    Untuk memahami bentuk, wilayah, dan aliran kesusastraan.
3.  Untuk memahami hubungan teori kesusastraan, teori kritik sastra, dan teori
     sejarah sastra.




II.     ISI


2.1 Pengertian Kesusastraan
            Secara etimologis (menurut asal-usul kata) kesusastraan berarti karangan yang indah. “sastra” (dari bahasa Sansekerta) artinya: tulisan, karangan (Esten, 1987: 7). Akan tetapi sekarang pengertian “kesusastran” berkembang melebihi pengertian etimologis tersebut. Kata “indah” amat luas maknanya. Tidak saja menjangkau pengertian-pengertian lahiriah tetapi terutama pengertian-pengertian yang bersifat rohaniah. Misalnya, bukankah pada wajah seseorang yang buruk masih bisa ditemukan hal-hal yang indah?
            Sebuah ciptasastra yang indah, bukanlah karena bahasanya yang beralun-alun dan penuh irama. Ia harus dilihat secara keseluruhan: temanya, amanatnya,  dan strukturnya. Pada nilai-nilai yang terkandung di dalam ciptasastra itu.
            Ada beberapa nilai yang harus dimiliki oleh sebuah ciptasastra. Nilai-nilai itu adalah: nilai-nilai astetika, nilai-nilai moral, dan nilai-nilai yang bersifat konsepsionil (Esten, 1987: 8). Ketiga nilai tersebut sesungguhnya tidak dapat dipisahkan sama sekali. Sesuatu yang estetis adalah sesuatu yang memiliki nilai-nilai moral. Tidak ada keindahan tanpa moral. Tapi apakah itu moral? Ia bukan hanya semacam sopan-santun ataupun etika belaka. Ia adalah nilai yang berpangkal dari nilai-nilai tentang kemanusiaan. Tentang nilai-nilai yang baik dan buruk yang bersifat universal. Demikian juga tentang nilai-nilai yang bersifat konsepsionil itu. Dasarnya adalah juga nilai-nilai tentang keindahan yang sekaligus merangkum nilai tentang moral.
            Nilai-nilai estetika kita jumpai tidak hanya dalam bentuk (struktur) ciptasastra akan tetapi juga dalam isinya (tema dan amanat) nya. Nilai moral akan terlihat dalam sikap terhadap apa yang akan diungkapkan dalam sebuah ciptasastra dan alam cara bagaimana pengungkapannya itu.  Nilai konsepsi akan terlihat dalam pandangan pengarang secara keseluruhan terhadap masalah yang diungkapkan di dalam ciptasastra yang diciptakannya.
            Esten (1987: 8) menyatakan sebuah ciptasastra bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup di dalam masyarakat (realitas-objektif). Ciptasastra bukanlah semata tiruan dari pada alam (imitation of nature) atau tiruan daripada hidup (imitation of life) akan tetapi ia merupakan penafsiran-penafsiran tentang alam dan kehidupan itu (interpretation of life).
            Sebuah ciptasastra mengungkapkan tentang masalah-masalah manusia dan kemanusiaan. Tentang makna hidup dan kehidupan. Ia melukiskan penderitaan-penderitaan manusia, perjuangannya, kasih sayang dan kebencian, nafsu dan segala yang dialami manusia. Dengan ciptasastra pengarang ingin menampilkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan lebih agung. Mau menafsirkan tentang makna hidup dan hakekat hidup.
            Dapat saja sebuah ciptasastra menceritakan tentang kehidupan binatang, seperti misalnya karyasastra yang besar “Pancatanteran” atau “Hikayat Kalilah dan Daminah”, namun sebetulnya kehidupan binatang itu dimaksudkan sebagai lambang dari kehidupan manusia. Jadi, sesungguhnya karya tersebut tetap mengungkapkan kehidupan manusia akan tetapi ditulis dalam perlambangan.
Sebuah ciptasastra yang baik, mengajak orang untuk merenungkan masalah-masalah hidup yang sulit. Mengajak orang untuk berkontemplasi (merenung), menyadarkan, dan membebaskannya dari segala belenggu-belenggu pikiran yang jahat dan keliru. Sebuah ciptasastra mengajak orang untuk mengasihi manusia lain.
Jika disimpulkan maka “kesusastraan” adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan memberikan efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan).
Ada dua daya yang harus dimiliki oleh seseorang pengarang, yakni daya kreatif dan daya imajinatif. Daya kreatif adalah daya untuk menciptakan hal-hal yang baru dan asli. Manusia penuh dengan seribu satu kemungkinan tersebut, memperlihatkan masalah-masalah manusia yang berbeda dan bervariasi dalam ciptasastra-ciptasastra yang ia tulis.

Sedangkan, daya imajinasi yang kaya ialah apabila ia mampu memperlihatkan dan menggambarkan kemungkinan-kemungkinan kehidupan dan masalah-masalah serta pilihan-pilihan dari alternatif yang mungkin dihadapi manusia. Kedua daya itu akan menentukan berhasil tidaknya sebuah ciptasastra.

2.2 Sifat-Sifat Sastra
            Salah satu batasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Menurut teori Greenlaw dan praktik banyak ilmuan lain (Wellek & Warren, 2014: 10), studi sastra bukan hanya berkaitan erat, tetapi identik dengan sejarah kebudayaan. Kaitan studi semacam ini dengan sastra hanya terletak pada perhatian terhadap hasil tulisan dan cetakan. Untuk mendukung teori ini, bisa saja dikatakan bahwa para sejarawan terlalu terpaku pada sejarah politik, sejarah militer, sejarah ekonomi, dan mengabaikan masalah-masalah lain, sehingga ilmuan sastra berhak menduduki kawasan tetangganya.  Tapi akhirnya studi semacam ini bukan sastra lagi. Sebetulnya, studi yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan cenderung menggeser studi sastra yang murni. Sebab dalam studi kebudayaan, semua perbedaan dalam teks sastra  diabaikan. Akibatnya, sastra akan dinilai berharga sejauh bermanfaat bagi disiplin lain.
            Cara lain untuk memberikan definisi pada sastra adalah membatasinya pada “mahakarya” (great books), yaitu buku-buku yang dianggap “menonjol karena bentuk dan ekspresi sastranya”. Dalam hal ini, kriteria yang dipakai adalah segi estetis atau nilai estetis dikombinasikan dengan nilai ilmiah. Diantara puisi, lirik, drama, dan cerita rekaan, mahakarya dipilih berdasarkan pertimbangan estetis. Buku-buku lain dipilih karena reputasinya atau kecemerlangan ilmiahnya, ditambah penilaian estetis atas gaya bahasa, komposisi, dan kekuatan penyampaian. Ini adalah cara yang lazim dipakai untuk berbicara tentang sastra.
            Tampaknya istilah “sastra” paiing tepat diterapkan pada seni sastra, yaitu sastra sebagai karya imajinatif. Memang ada sedikit kesulitan dalam menggunakan istilah “sastra imajinatif” (imaginative literature) balles-letters (“tulisan yang indah dan sopan”. Berasal dari bahasa Perancis, kurang lebih menyerupai pengertian etimologis kata susastra). Istilah Inggris literature (yang berasal dari bahasa Latin litera) mengacu pada karya tulis dan cetak.
Padahal, seharusnya kesusastraan juga meliputi sastra lisan. Dalam hal ini, istilah Jerman wortkunst atau istilah Rusia slovesnost lebih luas jangkauannya dan lebih cocok.
            Cara yang paling mudah memecahkan masalah ini adalah memerinci penggunaan bahasa yang khas sastra. Untuk melihat bahasa yang khas sastra, kita harus membedakan bahasa sastra, bahasa sehari-hari, dan bahasa ilmiah. Masalah ini sangat penting tapi sulit dipecahkan, karena sastra berbeda dengan seni lain-tidak memiliki mediumnya sendiri. Apalagi sastra mengenal berbagai bentuk dan selalu mengalami  perubahan. Yang lebih mudah adalah membedakan bahasa ilmiah dan bahasa sastra.
            Bahasa sastra penuh ambiguitas dan homonim (kata-kata yang sama bunyinya tetapi berbeda artinya), seperti gender (jenis kata yang mengacu pada jenis kelamin dalam tata bahasa). Bahasa sastra juga penuh dengan asosiasi, mengacu pada ungkapan atau karya yang diciptakan sebelumya (Wellek & Warren, 2014: 14). Dengan kata lain, bahasa sastra sangat “konotatif”. Bahasa sastra bukan hanya sekedar bahasa sastra referential, yang hanya mengacu pada satu hal tertentu. Bahasa sastra mempunyai fungsi ekspresif, menunjukkan nada (tone) dan sikap pembicara atau penulisnya. Bahasa sastra berusaha memengaruhi, membujuk, dan pada akhirnya mengubah sikap pembaca. Yang dipentingkan dalam bahasa sastra adalah tanda, simbolisme, dan suara dari kata-kata.
            Apa pun variasi yang kita dapatkan setelah mengamati suatu karya, perbedaan penggunaan bahasa sastra dan bahasa ilmiah sudah jelas: bahasa sastra berkaitan lebih mendalam dengan stuktur historis bahasa, serta menekankan kesadaran atas tanda. Bahasa sastra memiliki segi ekspresif dan pragmatis yang dihindari sejauh mungkin oleh bahasa ilmiah. Yang paling sulit membedakan bahasa sastra dan bahasa sehari-hari. Bahasa sehari-hari bukanlah suatu konsep yang seragam. Bahasa sehari-hari penuh konsep yang irasional dan mengalami perubahan konteks sesuai dengan perkembangan sejarah bahasa, walau adakalanya bahasa sehari-hari mengusahakan ketepatan seperti bahasa ilmiah.
            Perbedaan pragmatis antara bahasa sastra dan bahasa sehari-hari lebih jelas. Segala sesuatu yang mendorong kita untuk melakukan tindakan langsung dan konkret, sukar kita terima sebagai puisi.
            Sifat-sifat khas sastra muncul paling jelas bila dilihat dari aspek referensialnya (acuan). Marilah kita menengok genre sastra tradisional seperti lirik, epik, dan drama. Dalam ketiga jenis sastra itu, acuannya adalah dunia fiksi atau imajinasi.
            Istilah sastra sebagai karya “imajinatif” di sini tidak berarti bahwa setiap karya sastra harus memakai imaji (citra). Tetapi pencitraan tidaklah identik dengan rekaan, jadi bukan merupakan ciri khusus karya sastra. Banyak puisi bagus yang tidak memakai imaji; bahkan ada yang disebut puisi “pengayaan”. Kalau kita harus memvisualisasikan setiap metafora dalam puisi, barangkali kita akan menjadi bingung dan kewalahan. Tetapi ini adalah masalah psikologis yang tidak boleh disamakan dengan analisis teknik metafora penyair.

2.3 Fungsi Sastra
Sebuah karya sesungguhnya hanya sebagai artefak (Wellek & Warren, 2014: 22). Artefak jika tidak dimanfaatkan secara maksimal hanya akan menjadi sebuah artefak yang dipajang.  Begitu juga karya sastra, jika tidak dibaca atau dinikmati kemudian  mengambil manfaat yang terkandung di dalamnya.  Manfaat ini harus diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa fungsi sastra yang telah dijabarkan Dick Hartoko (Wellek & Warren, 2014: 23-32) adalah sebagai berikut:
1.   Menurut Poe, sastra berfungsi menghibur dan sekaligus mengajarkan sesuatu, yang dikenal dengan istilah didactic heresy.
2.   Karya sastra bisa menggantikan perjalanan ke luar negeri atau pengalaman langsung.
3.   Karya sastra berfungsi sebagai dokumen sosial bagi sejarawan.
4.   Karya sastra khususnya puisi, bisa menyampaikan hal-hal yang mungkin akan terjadi. Jadi, dengan membaca karya sastra kita bisa waspada akan terjadinya sesuatu setelah sesuatu terjadi .
5.   Sebuah karya sastra bisa memberikan pengetahuan dan filsafat atau pandangan hidup.
6.   Sebuah karya sastra khususnya novel, dapat mengajarkan lebih banyak tentang sifat-sifat manusia daripada psikolog.
7.   Sebuah karya sastra khususnya novel, bisa menjadi buku sumber atau menjadi kasus sejarah bagi psikolog.  Mereka akan mengambil sejumlah nilai tipikal novel, lalu memakainya secara umum.
8.   Sebuah karya sastra dapat membuat kita melihat apa yang sehari-hari sudah ada di depan kita dan membayangkan apa yang secara konseptual dan nyata sebenarnya sudah kita ketahui. Dengan karya sastra kita dapat melihat apa yang tidak kita lihat walaupun ada di depan kita. Dengan karya sastra kita dapat mengingat apa yang sudah kita lupakan.
9.   Sebuah karya sastra dapat mengungkapkan kebenaran. Kebenaran adalah kriteria atau ciri khas seni. Dengan memakai kebenaran, orang memberi penghargaan pada seni dan pada nilai-nilai utama seni. Jika seni itu tidak benar, berarti seni itu bohong
10. Karya sastra dapat menjadi propaganda.  Yaitu segala macam usaha yang dilakukan secara sadar atau tidak untuk mempengaruhi pembaca agar menerima sikap hidup tertentu
11. Fungsi sastra menurut sejumlah teoritikus adalah untuk membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi dan mendapatkan ketenangan pikiran.  Fungsi ini dikenal dengan istilah katarsis oleh Aristoteles dalam karyanya The Poetics
            Dengan menghadapi tantangan dan tuntunan untuk membuktikan fungsi, dengan sendirinya tulisan-tulisan pembelaan menekankan segi manfaat, bukan kenikmatan; dan dengan demikian menyangkut fungsi yang dikaitkan dengan hubungan ekstrinsik atau hubungan dengan hal-hal di luar sastra, maka istilah “fungsi” lebih cocok dikaitkan dengan tulisan-tulisan yang bernada apologetics (membela, mencari alasan). Dengan meminjam istilah mereka, kemungkinan puisi dapat dikatakan fungsi. Fungsi utamanya adalah kesetiaan pada sifat-sifatnya sendiri (Wellek & Warren, 2014: 33).




2.4  Proses Penciptaan Kesusastraan.
Seorang pengarang berhadapan dengan suatu kenyataan yang ditemukan dalam masyarakat (realitas objektif). Realitas objektif itu dapat berbentuk peristiwa-peristiwa, norma-norma (tata-nilai), pandangan-hidup dan lain-lain bentuk-bentuk realitas objektif itu. Ia ingin memberontak dan memprotes. Sebelum pemberontakan tersebut dilakukan (ditulis) ia telah memiliki suatu sikap, maka ia mencoba mengangankan suatu “realitas” baru sebagai pengganti realitas objektif yang sekarang ia tolak. Hal inilah yang kemudian ia ungkapkan di dalam ciptasastra yang diciptakannya. Ia mencoba mengutarakan sesuatu terhadap realitas objektif yang ia temukan. Ia ingin berpesan melalui ciptasastranya kepada orang lain tentang suatu yang ia anggap sebagai masalah manusia.
Ia berusaha merubah fakta yang faktual menjadi fakta yang imajinatif  bahkan menjadi fakta-fakta yang artistik. Pesan justru disampaikan dalam nilai-nilai yang artistik tersebut. Ia tidak semata-mata pesan-pesan moral ataupun khotbah-khotbah tentang baik dan buruk akan tetapi menjadi pesan-pesan yang artistik. Pesan-pesan yang ditawarkan dalam keterpesonaan dan senandung.
Dalam kesusastraan Indonesia masalah itu dengan jelas dapat dilihat. Misalnya, kenyataan-kenyataan yang ada disekitar tahun 20-an terutama dalam masyarakat Minangkabau ialah masalah: kawin paksa. Pengarang kita pada waktu itu punya suatu sikap dan tidak puas dengan realitas objektif itu. Sikap itu bersifat subjektif: bahwa ia tidak senang dan memprotes. Akan tetapi, sifat itu juga bersifat inter-subjektif karena jektif dan inter-subjektif itulah yang kemudian diungkapkan di dalam ciptasastra-ciptasastra.
Ciptasastra-ciptasastra itu tidak saja lagi sebagai pernyataan dari sikap,  akan tetapi juga merupakan pernyataan dari cita-cita berhubung dengan realitas objektif tersebut. Diungkapkan dalam suatu transformasi (wadah) yang artistik, sesuai dengan ukuran (kriteria-kriteria) kesusastraan.
Sebuah ciptasastra selain merupakan pernyataan hati nurani pengarangnya, ia juga merupakan pengungkapan hati nurani masyarakatnya. Didalamnya terdapat sikap, visi (pandangan-hidup), cita-cita, dan konsepsi dari pengarangnya. Dari masalah kawin paksa, misalnya dalam kesusastraan Indonesia lahirlah ciptasastra-ciptasastra: “Siti Nurbaya” dari marah Rusli, “Tenggelamnya Kapal van der Wijck” dari Hamka dan “Salah Asuhan” dari Abdul Muis (untuk menyebut beberapa ciptasastra yang baik).
Sebuah ciptasastra merupakan kritik terhadap kenyataan-kenyataan yang berlaku atau seperti yang dikatakan Albert Camus (seorang pengarang dan filsuf Perancis yang pernah mendapat Hadiah Nobel) merupakan pemberontakan terhadap realitas. Karya sastra Marah Rusli “Siti Nurbaya” merupakan kritik terhadap tata kehidupan masyarakat Minangkabau sekitar tahun 1920-1930. Demikian juga dengan “Tenggelamnya Kapal van der Wijck” ataupun “salah Asuhan”. “Layar Terkembang” karya Sutan Takdir Alisyahbana merupakan kritik terhadap kehidupan masyarakat Indonesia yang masih statis. Karya Idrus “Surabaya” juga adalah kritik terhadap ekses-ekses dan hal-hal yang negatif dari revolusi fisik. Demikian pula dengan sajak-sajak Chairil Anwar, kumpulan puisi Taufik Ismail “Benteng” dan “Tirani” atau juga novel Bambang Sularto “Domba-Domba Revolusi”.
Semuanya diungkapkan melalui bahasa sebagai media. Dengan demikian, di dalam kesusastraan ada beberapa faktor yang menjadi bahan pertimbangan, yaitu faktor persoalan yang diungkapkan, keindahan pengungkapan, dan  faktor bahasa atau kata. Dalam kesusastraan Indonesia, yang dimaksudkan adalah pengungkapan persoalan-persoalan dan nilai-nilai tentang hidup (manusia dan kemanusiaan), terutama persoalan-persoalan dan nilai-nilai lain yang berhubungan dengan bangsa Indonesia serta diungkapkan dengan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai media.

2.5  Bentuk-Bentuk Kesusastraan
Ada beberapa bentuk ciptasastra:
a.       Puisi.
b.      Cerita rekaan (fiksi).
c.       Esei dan kritik.
d.      Drama.


Apakah yang membedakan antara puisi dengan cerita rekaan? Perbedaan itu akan terlihat dalam proses pengungkapan. Dalam puisi akan dijumpai dua proses yang disebut dengan proses konsentrasi dan proses intensifikasi. Proses konsentrasi yakni proses pemusatan terhadap suatu fokus suasana dan masalah, sedang proses intensifikasi adalah proses pendalaman terhadap suasana dan masalah tersebut. Unsur-unsur struktur puisi berusaha membantu tercapainya kedua proses itu. Pada prosa, suasana yang lain atau masalah-masalah yang lain dapat saja muncul di luar suasana dan masalah pokok yang ingin di ungkapkan seorang pengarang dalam ciptasastranya.
Cerita-rekaan (fiksi) sering dibedakan atas tiga macam bentuk, yakni: cerita-pendek (cerpen), novel, dan roman. Akan tetapi di dalam kesusastraan Amerika umpamanya hanya dikenal istilah: cerpen (short-story) dan novel. Istilah roman tidak ada. Yang kita maksud dengan “roman” dalam kesusastraan Amerika ialah “novel”.
Perbedaan antara ketiga bentuk cerita-rekaan itu tidaklah hanya terletak pada panjang pendeknya cerita tersebut atau pada jumlah kata-katanya. Ada ukuran lain yang membedakannya. Cerita-pendek (cerpen) merupakan pengungkapan suatu kesan yang hidup dari fragmen dari kehidupan manusia. Daripadanya tidak dituntut terjadinya suatu perubahan nasib dari pelaku-pelakunya. Hanya suatu lintasan dari secercah kehidupan manusia, yang terjadi pada suatu kesatuan waktu.
Novel merupakan pengungkapan dari fragmen kehidupan manusia (dalam jangka yang lebih panjang) di mana terjadi konflik-konflik yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan jalan hidup antara para pelakunya. Beberapa contoh novel dalam kesusastraan Indonesia, misalnya “Belenggu” karya Armin Pane, “Kemarau” karya A.A. Navis, dan “Merahnya Merah” karya Iwan Simatupang.
Dalam “Belenggu” misalnya, setelah terjadi konflik-konflik antara dr. Sukartono, Sumartini, dan Rokhayah, maka akhirnya terjadilah perubahan jalan hidup pada masing-masing pelaku novel tersebut. Begitu juga antara Sutan Duano dalam “Kemarau” dengan anaknya. Setelah terjadi konflik-konflik kemudian diikuti pula dengan perubahan jalan nasib. Demikian pula dalam “Merahnya Merah”. Tokoh kita, Fifi dan Maria mengalami perubahan jalan nasib setelah terjadi konflik-konflik.
Dalam novel diungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang, pemusatan kehidupan yang tegas. Sedangkan,  roman rancangannya lebih luas dan mengandung sejarah perkembangan.
Roman merupakan bentuk kesusastraan yang menggambarkan kronik kehidupan yang lebih luas dari kehidupan manusia. Biasanya dilukiskan mulai dari masa kanak-kanak sampai menjadi dewasa, akhirnya meninggal. Sebagai contoh, misalnya roman “Siti Nurbaya”, “Tenggelamnya Kapal van der Wijck” ataupun roman “Athheis” karya Akhdiat Kartamiharja.
Istilah roman berasal dari kesusastraan Perancis. “Roman” adalah bahasa rakyat sehari-hari di negeri Perancis. Kemudian berkembang artinya menjadi cerita-cerita tentang pengalaman-pengalaman kaum ksatria dan cerita-cerita kehidupan yang jenaka dari pedesaan. Sekarang pengertian roman telah menyangkut tentang kehidupan manusia pada umumnya. Hakekat dari cerita rekaan ialah bererita. Ada yang diceritakan dan ada yang menceritakan.
Bentuk ciptasastra yang lain adalah esai dan kritik. Esai adalah suatu karangan yang berisi tanggapan-tanggapan, komentar, pikiran-pikiran tentang suatu persoalan. Setiap esai bersifat subjektif, suatu pengucapan jiwa sendiri. Di dalam esai bisa kita lihat pribadi dan pendirian pengarang. Pikiran-pikirannya, sikap-sikapnya, cita-citanya, dan keinginannya terhadap soal yang dibicarakannya atau terhadap hidup pada umumnya. Dalam esai tidak diperlukan adanya suatu konklusi (kesimpulan). Esai bersifat sugestif dan lebih banyak memperlihatkan alternatif-alternatif.
Berbeda dengan esai adalah studi. Ia merupakan suatu karangan mengenai penelitian terhadap sesuatu dan bersifat obejektif. Perasaan pengarang tidak banyak ikut bicara. Studi lebih senang mengemukakan data dan bukti-bukti.
Menurut H.B. Yassin, kritik adalah pertimbangan buruk dan baik sebuah ciptasastra. Suatu kritik juga bersifat subjektif meskipun mungkin menggunakan term-term yang objektif. Kritik merupakan salah satu bentuk esai. Suatu kritik (sastra) yang baik juga harus lebih banyak memperlihatkan alternatif-alternatif daripada memberikan vonis.
Beberapa penulis esai yang terkenal dalam kesusastraan adalah Gunawan Mohamad, Arief Budiman, Wiratmo Sukito, Sujatmoko, Buyung Saleh (Tokoh Lekra), Umar Khayam, dan lain-lain. Sedangkan, tokoh-tokoh kritikus yang terkenal antara lain adalah: H.B. Yassin, Prof. Dr. A. Teeuw, M.S. Hutagalung, J.U. Nasution, Beon Sri Umaryati, M. Saleh Saad, Umar Yunus, dan lain-lain.
Bentuk kesusastraan yang lain adalah drama atau Sandiwara (sandi = rahasia, wara = pelajaran), artinya pelajaran yang disampaikan secara rahasia. Drama atau sandiwara yang dimainkan (dipergelarkan) adalah cerita, naskah, atau reportoar yang akan dimainkan tersebut.
Hakekat drama adalah terjadinya suatu konflik. Baik konflik antara tokoh ataupun konflik dalam persoalan maupun konflik dalam diri seorang tokoh. Konflik inilah nanti yang akan mendorong dialog dan menggerakkan aksi.

2.6  Wilayah-Wilayah Kesusastraan
Dalam kehidupan kesusastraan ada tiga wilayah kesusastraan yang saling berhubungan dan saling membantu, wilayah-wilayah tersebut adalah: wilayah penciptaan kesusastraan (the life of literature), wilayah penelitian kesusastraan (the study of literature), dan wilayah penikmat kesusastraan (Esten, 1987: 10). Wilayah penciptaan kesusastraan ialah wilayah para sastrawan, yang diiukti dengan ciptaan-ciptaan. Persoalan mereka ialah bagaimana menciptakan ciptasastra yang baik dan bermutu.
Wilayah penelitian ialah wilayah para ahli dan para kritikus. Mereka berusaha menjelaskan, menafsirkan dan memberikan penilaian terhadap ciptasastra-ciptasastra. Tentu saja mereka harus memperlengkapi diri mereka dengan segala pengetahuan yang mungkin diperlukan untuk memahami ciptasastra-ciptasastra yang mereka hadapi. Wilayah para penikmat adalah wilayahnya para pembaca. Wilayah ini tidak kurang pentingnya, karena untuk merekalah sesungguhnya ciptasastra-ciptasastra ditulis oleh para pengarang.
Hasil sastra yang tidak ada pembacanya tentu tidak akan ada artinya. Demikian pula halnya dengan ciptasastra yang tidak berkomunikasi.
Selama ini di Indonesia, ciptasastranya kurang mendapat perhatian dan kurang mendapat tempat dikalangan masyarakat. Penyebabnya mungkin dapat dicari pada dua wilayah, yaitu wilayah penelitian dan wilayah para penikmat. Wilayah penelitian kurang digarap, sehingga ciptasastra-ciptasastra kurang terjelaskan dan semakin tersisih. Tidak ada yang memberikan apresiasi sehingga masyarakat justru memiliki ukuran-ukuran yang keliru terhadap karangan-karangan yang mereka baca. Demikian pula pembaca sendiri tidak berusaha untuk memahami ciptasastra-ciptasastra, misalnya dengan menambah pengetahuan dan memperdalam apresiasi.
Untuk menjadi sastrawan juga diperlukan persyaratan-persyaratan yang cukup berat. Mereka harus memperkaya pengalaman, memperbanyak dan memperluas ilmu pengetahuan. Menghayati secara intensif (sungguh-sungguh dan mendalam) makna hidup dan masalah-masalah manusia. Sastrawan tidak mungkin hanya bermodalkan perasaan-perasaan dan menunggu inspirasi saja. Tidak mungkin menjadi sastrawan hanya disebabkan suatu akibat atau penderitaan, misalnya karena putus dalam percintaan lalu mencoba mengarang.

2.7  Aliran-Aliran dalam Kesusastraan
Di dalam kesusastraan di kenal beberapa macam aliran. Aliran-aliran ini terlihat di dalam ciptasastra-ciptasastra, maupun dalam tinjauan-tinjauan tentang kesusastraan (Esten, 1987: 26). Antara lain aliran-aliran itu adalah:
a.         Ekspresionisme, ialah aliran yang mengutamakan pernyataan jiwa pengarang. Alam hanyalah alat untuk menciptakan pengertian-pengertian dari kejiwaan. Dalam hasil sastra yang beraliran ekspresionisme nampak sekali letupan-letupan perasaan dan pergolakan jiwa si pengarang. Misalnya: puisi-puisi Chairil Anwar.
b.        Realisme, ialah aliran yang melukiskan orang-orang dan peristiwa-peristiwa dengan perasaan-perasaan dan pemikirannya sampai kepada yang sekecil-kecilnya dengan tidak memihak dan memberikan manifestasi jasmaniah (material) tanpa mempersoalkan sumbernya.
c.         Idealisme, ialah aliran yang mementingkan cita-cita, suatu dunia yang jauh di depan, dan menghindari kenyataan yang buruk dalam masyarakat untuk dilukiskan. Sebagai contoh “Layar Terkembang” Sutan Takdir Alisyahbana.
d.        Naturalisme, ialah aliran yang hampir sama dengan aliran realisme. Ia melukiskan bahwa manusia merupakan bagian dari alam yang penuh dengan hasrat-hasrat dan kekurangan-kekurangan. Aliran naturalisme cenderung untuk melukiskan kekurangan-kekurangan dan segala keperluan-keperluan manusia. Pengarang naturalisme yang terkenal adalah Emile Zola (pengarang Perancis) dengan karyanya yang terkenal “Germinal” (Tambang), pengarang Motinggo Busye. “Belenggu” karya Armin Pane dianggap pula beraliran naturalisme.
e.         Romantik, ialah aliran yang mengutamakan perasaan. Bahwa manusia harus lebih banyak menggunakan intuisi (untuk meraba rahasia alam yang tak terduga). Pengarang romantik dunia yang terkenal ialah Victor Hugo dan Lord Byron.
f.         Surealisme, ialah aliran yang menghendaki keseluruhan dalam kesewaktuan. Segala-galanya terjadi serentak. Banyak dilukiskan kehidupan dan pembicaraan bawah sadar. Aliran ini banyak mendapat pengaruh dari psikologi analisa Freud. Bahwa perbuatan manusia digerakkan libido, nafsu seksual yang asli. Beberapa contoh ciptasastra dari aliran ini ialah “Jalan Tak Ada Ujung” Mochtar Lubis. Dongeng “Sangkuriang” yang terkenal juga berbau surealisme.
g.        Eksistensialisme, ialah aliran dalam kesusastraan yang berdasarkan ajaran-ajaran filsafat eksistensialisme. Antara lain ialah bahwa hakekat manusia berbeda dengan alam. Manusia terus melakukan pembaruan-pembaruan terhadap dirinya. Mengenal dirinya melalui pengenalan terhadap orang atau benda lain.
Aliran-aliran dalam kesusastraan ini tidaklah dijumpai secara persis di dalam sebuah ciptasastra. Dan sebuah ciptasastra tidaklah diwarnai suatu aliran saja. Yang dapat ditemui di dalam sebuah ciptasastra adalah unsur-unsur dari aliran itu.

2.8    Hubungan Teori Kesusastraan, Teori Kritik Sastra, dan Teori Sejarah Sastra
              Istilah kesusastraan (theory of literature) juga mencakup teori kritik sastra dan teori sejarah sastra (Wellek & Warren, 2014: 36). Kesusastraan dapat dipelajari secara umum atau secara khusus. Secara umum melalui studi prinsip, kategori, dan kriteria. Secara khusus melalui telaah langsung karya sastra. Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan kriteria., sedangkan studi karya-karya konkret disebut kritik sastra dan sejarah sastra.
Dalam wilayah studi sastra, perlu adanya perbedaan antara teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Pertama yang perlu dipilah adalah perbedaan sudut pandang yang mendasar, kesusastraan dapat dilihat sebagai deretan karya sastra yang sejajar, atau yang tersusun secara kronologis dan merupakan bagian dari suatu proses sejarah.
Teori sastra jelas hanya dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra. Kemudian, tidak mungkin kita menyusun teori sastra tanpa kritik sastra atau sejarah sastra. Sebaliknya, tidak mungkin juga ada kritik sastra atau sejarah sastra tanpa set pertanyaan, suatu sistem pemikiran, acuan, dan generalisasi.
Sejarah sastra sangat penting untuk kritik sastra, kalau kritik hendak bergerak lebih jauh dari sekadar pernyataan suka dan tidak suka. Seorang kritikus yang tidak peduli pada hubungan sejarah akan meleset penilaiannya. Ia tidak akan tahu apakah karya itu asli atau tiruan. Ia cenderung salah dalam pemahamannya atas karya sastra. Kenyataan bahwa ketiga bidang tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Kesusastraan bukan suatu seri karya sastra yang unik dan tak punya kesamaan satu sama lain, dan bukan sejumlah karya yang terkurung oleh lingkungan waktu seperti zaman Klasik atau zaman Romantik (Wellek & Warren, 2014: 41).
Ada yang berusaha memisahkan sejarah sastra dari teori sastra dan kritik sastra. Tetapi perbedaan ini sukar dipegang. F.W. Bateson, misalnya, mengatakan bahwa sejarah sastra menunjukan A berasal dari B, sedangkan kritik sastra menunjukkan A lebih baik dari B. Hubungan yang pertama dapat dibuktikan, sedangkan yang kedua bergantung pada pendapat dan keyakinan. Tetapi perbedaan semacam ini sulit untuk kita pegang sebagai alasan. Secara keseluruhan dalam pengkajian karya sastra, antara teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra terjalin keterkaitan.

III.                  PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Jika disimpulkan maka “kesusastraan” adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan memberikan efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan).
Aliran-aliran dalam kesusastraan ini tidaklah dijumpai secara persis di dalam sebuah ciptasastra. Dan sebuah ciptasastra tidaklah diwarnai suatu aliran saja. Yang dapat ditemui di dalam sebuah ciptasastra adalah unsur-unsur dari aliran itu.
Dalam kesusastraan ada beberapa faktor yang menjadi bahan pertimbangan, yaitu faktor persoalan yang diungkapkan, keindahan pengungkapan, dan  faktor bahasa atau kata. Dalam kesusastraan Indonesia, yang dimaksudkan adalah pengungkapan persoalan-persoalan dan nilai-nilai tentang hidup (manusia dan kemanusiaan), terutama persoalan-persoalan dan nilai-nilai lain yang berhubungan dengan bangsa Indonesia serta diungkapkan dengan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai media. Secara keseluruhan dalam pengkajian karya sastra, antara teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra terjalin keterkaitan.

3.2 Saran
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya. Apabila masih terdapat kekurangan dalam penulisan maupun isi dari makalah yang kami susun, pembaca dapat mencari literatur-literatur lain sebagai penambah dan pelengkap pengetahuan mengenai Teori Kesusastraan.




DAFTAR PUSTAKA


Esten, Mursal. 1987. Kesusastraan: Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung:
Angkasa.
Wellek, Rene & Austin Warren. 2014. Teori Kesusastraan (Diindonesiakan
Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

UNSUR-UNSUR INTRINSIK THE LION KING

Metode Rekonstruksi (Mata Kuliah Perbandingan Bahasa Nusantara)

Cerpen Pemandangan Perut dalam Teori Konvensi