Teori Kesusastraan
TEORI
KESUSASTRAAN
Disusun
oleh:
1.
Devi Kusmitha Sari 1113041018
2.
Gita Andriana 1113041030
3.
Lismayana 1113041036
4.
Reni Apriyanti 1113041052
5.
Trie Utami 1113041068
Dosen
Pengampu : Dr. Muhammad Fuad, M.Hum.
Mata
Kuliah : Kajian Fiksi dan Prosa
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA
JURUSAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
LAMPUNG
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya, kami diberikan kelancaran dalam
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktu yang telah ditentukan. Kami membuat
makalah dengan judul “Teori Kesusastraan”.
Kami mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Dr. Muhammad Fuad, M.Hum. selaku dosen pengampu mata kuliah Kajian Fiksi
dan Prosa. Tujuan dari penyusunan makalah ini ialah untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Kajian Fiksi dan Prosa yang telah diberikan dosen pengampu
agar kami lebih memahami teori kesusastraan.
Penulis menyadari bahwa di dalam
makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun demi penyempurnaan dan
perbaikan makalah ini selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi seluruh
pembaca.
Bandar Lampung, Maret 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR..................................................................................
i
DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah.................................................................... 1
1.2 Rumusan
Masalah............................................................................. 2
1.3 Tujuan
Masalah ................................................................................ 2
II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Kesusastraan.................................................................... 3
2.2 Sifat-Sifat
Sastra............................................................................... 5
2.3 Fungsi
Sastra..................................................................................... 7
2.4 Proses
Penciptaan Kesusastraan ....................................................... 9
2.5 Bentuk-Bentuk
Kesusastraan .......................................................... 10
2.6 Wilayah
Kesusastraan...................................................................... 13
2.7 Aliran-Aliran
Kesusastraan.............................................................. 14
2.8 Hubungan
Teori Kesusastraan, Teori Kritik Sastra,
dan Teori Sejarah Sastra................................................................... 16
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
...................................................................................... 18
3.2 Saran................................................................................................. 18
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................. 19
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebuah ciptasastra yang
indah, bukanlah karena bahasanya yang beralun-alun dan penuh irama. Ia harus
dilihat secara keseluruhan: temanya, amanatnya, dan strukturnya. Pada nilai-nilai yang
terkandung di dalam ciptasastra itu.
Sebuah karya sesungguhnya hanya sebagai artefak. Artefak
jika tidak dimanfaatkan secara maksimal hanya akan menjadi sebuah artefak yang
dipajang. Begitu juga karya sastra, jika
tidak dibaca atau dinikmati kemudian mengambil manfaat yang terkandung di
dalamnya. Manfaat ini harus
diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari.
Sifat-sifat khas sastra
muncul paling jelas bila dilihat dari aspek referensialnya (acuan). Marilah
kita menengok genre sastra tradisional seperti lirik, epik, dan drama. Dalam
ketiga jenis sastra itu, acuannya adalah dunia fiksi atau imajinasi.
Dalam kesusastraan ada
beberapa faktor yang menjadi bahan pertimbangan, yaitu faktor persoalan yang
diungkapkan, keindahan pengungkapan, dan
faktor bahasa atau kata. Dalam kesusastraan Indonesia, yang dimaksudkan
adalah pengungkapan persoalan-persoalan dan nilai-nilai tentang hidup (manusia
dan kemanusiaan), terutama persoalan-persoalan dan nilai-nilai lain yang
berhubungan dengan bangsa Indonesia serta diungkapkan dengan menggunakan Bahasa
Indonesia sebagai media.
Aliran-aliran dalam
kesusastraan tidaklah dijumpai secara persis di dalam sebuah ciptasastra. Sebuah
ciptasastra tidaklah diwarnai suatu aliran saja. Yang dapat ditemui di dalam
sebuah ciptasastra adalah unsur-unsur dari aliran itu.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
penulis kemukakan diatas, maka dapat dirumuskan masalah dalam pembahasan
makalah ini sebagai berikut :
1.
Apa pengertian kesusastraan?
2.
Apa saja sifat-sifat sastra?
3.
Apa fungsi dari sastra?
4.
Bagaimana proses penciptaan kesusastraan?
5.
Bagaimana bentuk, wilayah, dan aliran dalam
kesusastraan?
6.
Bagaimana hubungan teori kesusastraan, teori kritik
sastra, dan teori sejarah sastra?
1.3 Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan yang ingin dicapai dalam makalah
ini ialah:
1. Untuk mengetahui pengertian dan asal mula kata
kesusastraan.
2. Untuk memahami bentuk, wilayah, dan
aliran kesusastraan.
3. Untuk memahami hubungan teori kesusastraan, teori
kritik sastra, dan teori
sejarah sastra.
II.
ISI
2.1
Pengertian Kesusastraan
Secara etimologis (menurut
asal-usul kata) kesusastraan berarti karangan yang indah. “sastra” (dari bahasa
Sansekerta) artinya: tulisan, karangan (Esten, 1987: 7). Akan tetapi sekarang
pengertian “kesusastran” berkembang melebihi pengertian etimologis tersebut.
Kata “indah” amat luas maknanya. Tidak saja menjangkau pengertian-pengertian
lahiriah tetapi terutama pengertian-pengertian yang bersifat rohaniah.
Misalnya, bukankah pada wajah seseorang yang buruk masih bisa ditemukan hal-hal
yang indah?
Sebuah
ciptasastra yang indah, bukanlah karena bahasanya yang beralun-alun dan penuh
irama. Ia harus dilihat secara keseluruhan: temanya, amanatnya, dan strukturnya. Pada nilai-nilai yang terkandung
di dalam ciptasastra itu.
Ada
beberapa nilai yang harus dimiliki oleh sebuah ciptasastra. Nilai-nilai itu
adalah: nilai-nilai astetika, nilai-nilai
moral, dan nilai-nilai yang bersifat konsepsionil (Esten, 1987: 8). Ketiga
nilai tersebut sesungguhnya tidak dapat dipisahkan sama sekali. Sesuatu yang
estetis adalah sesuatu yang memiliki nilai-nilai moral. Tidak ada keindahan
tanpa moral. Tapi apakah itu moral? Ia bukan hanya semacam sopan-santun ataupun
etika belaka. Ia adalah nilai yang berpangkal dari nilai-nilai tentang
kemanusiaan. Tentang nilai-nilai yang baik dan buruk yang bersifat universal.
Demikian juga tentang nilai-nilai yang bersifat konsepsionil itu. Dasarnya
adalah juga nilai-nilai tentang keindahan yang sekaligus merangkum nilai tentang
moral.
Nilai-nilai
estetika kita jumpai tidak hanya dalam bentuk (struktur) ciptasastra akan
tetapi juga dalam isinya (tema dan amanat) nya. Nilai moral akan terlihat dalam
sikap terhadap apa yang akan diungkapkan dalam sebuah ciptasastra dan alam cara
bagaimana pengungkapannya itu. Nilai
konsepsi akan terlihat dalam pandangan pengarang secara keseluruhan terhadap
masalah yang diungkapkan di dalam ciptasastra yang diciptakannya.
Esten
(1987: 8) menyatakan sebuah ciptasastra bersumber dari kenyataan-kenyataan yang
hidup di dalam masyarakat (realitas-objektif). Ciptasastra bukanlah semata
tiruan dari pada alam (imitation of
nature) atau tiruan daripada hidup (imitation
of life) akan tetapi ia merupakan penafsiran-penafsiran tentang alam dan
kehidupan itu (interpretation of life).
Sebuah
ciptasastra mengungkapkan tentang masalah-masalah manusia dan kemanusiaan.
Tentang makna hidup dan kehidupan. Ia melukiskan penderitaan-penderitaan manusia,
perjuangannya, kasih sayang dan kebencian, nafsu dan segala yang dialami
manusia. Dengan ciptasastra pengarang ingin menampilkan nilai-nilai yang lebih
tinggi dan lebih agung. Mau menafsirkan tentang makna hidup dan hakekat hidup.
Dapat
saja sebuah ciptasastra menceritakan tentang kehidupan binatang, seperti
misalnya karyasastra yang besar “Pancatanteran” atau “Hikayat Kalilah dan
Daminah”, namun sebetulnya kehidupan binatang itu dimaksudkan sebagai lambang
dari kehidupan manusia. Jadi, sesungguhnya karya tersebut tetap mengungkapkan
kehidupan manusia akan tetapi ditulis dalam perlambangan.
Sebuah ciptasastra yang
baik, mengajak orang untuk merenungkan masalah-masalah hidup yang sulit.
Mengajak orang untuk berkontemplasi (merenung), menyadarkan, dan membebaskannya
dari segala belenggu-belenggu pikiran yang jahat dan keliru. Sebuah ciptasastra
mengajak orang untuk mengasihi manusia lain.
Jika disimpulkan maka
“kesusastraan” adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai
manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium
dan memberikan efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan).
Ada dua daya yang harus
dimiliki oleh seseorang pengarang, yakni daya kreatif dan daya imajinatif. Daya
kreatif adalah daya untuk menciptakan hal-hal yang baru dan asli. Manusia penuh
dengan seribu satu kemungkinan tersebut, memperlihatkan masalah-masalah manusia
yang berbeda dan bervariasi dalam
ciptasastra-ciptasastra yang ia tulis.
Sedangkan, daya
imajinasi yang kaya ialah apabila ia mampu memperlihatkan dan menggambarkan
kemungkinan-kemungkinan kehidupan dan masalah-masalah serta pilihan-pilihan
dari alternatif yang mungkin dihadapi manusia. Kedua daya itu akan menentukan
berhasil tidaknya sebuah ciptasastra.
2.2
Sifat-Sifat Sastra
Salah
satu batasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Menurut
teori Greenlaw dan praktik banyak ilmuan lain (Wellek & Warren, 2014: 10),
studi sastra bukan hanya berkaitan erat, tetapi identik dengan sejarah
kebudayaan. Kaitan studi semacam ini dengan sastra hanya terletak pada perhatian
terhadap hasil tulisan dan cetakan. Untuk mendukung teori ini, bisa saja
dikatakan bahwa para sejarawan terlalu terpaku pada sejarah politik, sejarah
militer, sejarah ekonomi, dan mengabaikan masalah-masalah lain, sehingga ilmuan
sastra berhak menduduki kawasan tetangganya.
Tapi akhirnya studi semacam ini bukan sastra lagi. Sebetulnya, studi
yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan cenderung menggeser studi sastra yang
murni. Sebab dalam studi kebudayaan, semua perbedaan dalam teks sastra diabaikan. Akibatnya, sastra akan dinilai
berharga sejauh bermanfaat bagi disiplin lain.
Cara
lain untuk memberikan definisi pada sastra adalah membatasinya pada “mahakarya”
(great books), yaitu buku-buku yang
dianggap “menonjol karena bentuk dan ekspresi sastranya”. Dalam hal ini,
kriteria yang dipakai adalah segi estetis atau nilai estetis dikombinasikan
dengan nilai ilmiah. Diantara puisi, lirik, drama, dan cerita rekaan, mahakarya
dipilih berdasarkan pertimbangan estetis. Buku-buku lain dipilih karena
reputasinya atau kecemerlangan ilmiahnya, ditambah penilaian estetis atas gaya
bahasa, komposisi, dan kekuatan penyampaian. Ini adalah cara yang lazim dipakai
untuk berbicara tentang sastra.
Tampaknya
istilah “sastra” paiing tepat diterapkan pada seni sastra, yaitu sastra sebagai
karya imajinatif. Memang ada sedikit kesulitan dalam menggunakan istilah
“sastra imajinatif” (imaginative
literature) balles-letters
(“tulisan yang indah dan sopan”. Berasal dari bahasa Perancis, kurang lebih
menyerupai pengertian etimologis kata susastra). Istilah Inggris literature (yang berasal dari bahasa Latin
litera) mengacu pada karya tulis dan
cetak.
Padahal, seharusnya kesusastraan juga
meliputi sastra lisan. Dalam hal ini, istilah Jerman wortkunst atau istilah Rusia slovesnost
lebih luas jangkauannya dan lebih cocok.
Cara
yang paling mudah memecahkan masalah ini adalah memerinci penggunaan bahasa
yang khas sastra. Untuk melihat bahasa yang khas sastra, kita harus membedakan
bahasa sastra, bahasa sehari-hari, dan bahasa ilmiah. Masalah ini sangat
penting tapi sulit dipecahkan, karena sastra berbeda dengan seni lain-tidak
memiliki mediumnya sendiri. Apalagi sastra mengenal berbagai bentuk dan selalu
mengalami perubahan. Yang lebih mudah
adalah membedakan bahasa ilmiah dan bahasa sastra.
Bahasa
sastra penuh ambiguitas dan homonim (kata-kata yang sama bunyinya tetapi
berbeda artinya), seperti gender (jenis
kata yang mengacu pada jenis kelamin dalam tata bahasa). Bahasa sastra juga
penuh dengan asosiasi, mengacu pada ungkapan atau karya yang diciptakan
sebelumya (Wellek & Warren, 2014: 14). Dengan kata lain, bahasa sastra
sangat “konotatif”. Bahasa sastra bukan hanya sekedar bahasa sastra
referential, yang hanya mengacu pada satu hal tertentu. Bahasa sastra mempunyai
fungsi ekspresif, menunjukkan nada (tone)
dan sikap pembicara atau penulisnya. Bahasa sastra berusaha memengaruhi,
membujuk, dan pada akhirnya mengubah sikap pembaca. Yang dipentingkan dalam
bahasa sastra adalah tanda, simbolisme, dan suara dari kata-kata.
Apa
pun variasi yang kita dapatkan setelah mengamati suatu karya, perbedaan
penggunaan bahasa sastra dan bahasa ilmiah sudah jelas: bahasa sastra berkaitan
lebih mendalam dengan stuktur historis bahasa, serta menekankan kesadaran atas
tanda. Bahasa sastra memiliki segi ekspresif dan pragmatis yang dihindari
sejauh mungkin oleh bahasa ilmiah. Yang paling sulit membedakan bahasa sastra
dan bahasa sehari-hari. Bahasa sehari-hari bukanlah suatu konsep yang seragam.
Bahasa sehari-hari penuh konsep yang irasional dan mengalami perubahan konteks
sesuai dengan perkembangan sejarah bahasa, walau adakalanya bahasa sehari-hari
mengusahakan ketepatan seperti bahasa ilmiah.
Perbedaan
pragmatis antara bahasa sastra dan bahasa sehari-hari lebih jelas. Segala
sesuatu yang mendorong kita untuk melakukan tindakan langsung dan konkret,
sukar kita terima sebagai puisi.
Sifat-sifat
khas sastra muncul paling jelas bila dilihat dari aspek referensialnya (acuan).
Marilah kita menengok genre sastra tradisional seperti lirik, epik, dan drama.
Dalam ketiga jenis sastra itu, acuannya adalah dunia fiksi atau imajinasi.
Istilah
sastra sebagai karya “imajinatif” di sini tidak berarti bahwa setiap karya
sastra harus memakai imaji (citra). Tetapi pencitraan tidaklah identik dengan
rekaan, jadi bukan merupakan ciri khusus karya sastra. Banyak puisi bagus yang
tidak memakai imaji; bahkan ada yang disebut puisi “pengayaan”. Kalau kita
harus memvisualisasikan setiap metafora dalam puisi, barangkali kita akan
menjadi bingung dan kewalahan. Tetapi ini adalah masalah psikologis yang tidak
boleh disamakan dengan analisis teknik metafora penyair.
2.3
Fungsi Sastra
Sebuah karya sesungguhnya hanya sebagai artefak (Wellek
& Warren, 2014: 22). Artefak jika tidak dimanfaatkan secara maksimal hanya
akan menjadi sebuah artefak yang dipajang.
Begitu juga karya sastra, jika tidak dibaca atau dinikmati kemudian mengambil manfaat yang terkandung di
dalamnya. Manfaat ini harus
diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa fungsi sastra yang telah dijabarkan Dick Hartoko
(Wellek & Warren, 2014: 23-32) adalah sebagai berikut:
1. Menurut Poe, sastra berfungsi menghibur
dan sekaligus mengajarkan sesuatu, yang dikenal dengan istilah didactic heresy.
2. Karya
sastra bisa menggantikan perjalanan ke luar negeri atau pengalaman langsung.
3. Karya sastra berfungsi sebagai dokumen
sosial bagi sejarawan.
4. Karya sastra khususnya puisi, bisa
menyampaikan hal-hal yang mungkin akan terjadi. Jadi, dengan membaca karya
sastra kita bisa waspada akan terjadinya sesuatu setelah sesuatu terjadi .
5. Sebuah
karya sastra bisa memberikan pengetahuan dan filsafat atau pandangan hidup.
6. Sebuah
karya sastra khususnya novel, dapat mengajarkan lebih banyak tentang
sifat-sifat manusia daripada psikolog.
7. Sebuah karya sastra khususnya novel,
bisa menjadi buku sumber atau menjadi kasus sejarah bagi psikolog. Mereka akan mengambil sejumlah nilai tipikal
novel, lalu memakainya secara umum.
8. Sebuah
karya sastra dapat membuat kita melihat apa yang sehari-hari sudah ada di depan
kita dan membayangkan apa yang secara konseptual dan nyata sebenarnya sudah
kita ketahui. Dengan karya sastra kita dapat melihat apa yang tidak kita lihat
walaupun ada di depan kita. Dengan karya sastra kita dapat mengingat apa yang
sudah kita lupakan.
9. Sebuah karya sastra dapat mengungkapkan
kebenaran. Kebenaran adalah kriteria atau ciri khas seni. Dengan memakai
kebenaran, orang memberi penghargaan pada seni dan pada nilai-nilai utama seni.
Jika seni itu tidak benar, berarti seni itu bohong
10. Karya sastra dapat menjadi propaganda. Yaitu segala macam usaha yang dilakukan
secara sadar atau tidak untuk mempengaruhi pembaca agar menerima sikap hidup
tertentu
11. Fungsi sastra menurut sejumlah teoritikus adalah
untuk membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi dan mendapatkan
ketenangan pikiran. Fungsi ini dikenal
dengan istilah katarsis oleh Aristoteles dalam karyanya The Poetics
Dengan menghadapi tantangan dan
tuntunan untuk membuktikan fungsi, dengan sendirinya tulisan-tulisan pembelaan
menekankan segi manfaat, bukan kenikmatan; dan dengan demikian menyangkut
fungsi yang dikaitkan dengan hubungan ekstrinsik atau hubungan dengan hal-hal
di luar sastra, maka istilah “fungsi” lebih cocok dikaitkan dengan
tulisan-tulisan yang bernada apologetics
(membela, mencari alasan). Dengan meminjam istilah mereka, kemungkinan puisi
dapat dikatakan fungsi. Fungsi utamanya adalah kesetiaan pada sifat-sifatnya
sendiri (Wellek & Warren, 2014: 33).
2.4 Proses Penciptaan Kesusastraan.
Seorang pengarang
berhadapan dengan suatu kenyataan yang ditemukan dalam masyarakat (realitas
objektif). Realitas objektif itu dapat berbentuk peristiwa-peristiwa,
norma-norma (tata-nilai), pandangan-hidup dan lain-lain bentuk-bentuk realitas
objektif itu. Ia ingin memberontak dan memprotes. Sebelum pemberontakan
tersebut dilakukan (ditulis) ia telah memiliki suatu sikap, maka ia mencoba
mengangankan suatu “realitas” baru sebagai pengganti realitas objektif yang
sekarang ia tolak. Hal inilah yang kemudian ia ungkapkan di dalam ciptasastra
yang diciptakannya. Ia mencoba mengutarakan sesuatu terhadap realitas objektif
yang ia temukan. Ia ingin berpesan melalui ciptasastranya kepada orang lain
tentang suatu yang ia anggap sebagai masalah manusia.
Ia berusaha merubah
fakta yang faktual menjadi fakta yang imajinatif bahkan menjadi fakta-fakta yang artistik.
Pesan justru disampaikan dalam nilai-nilai yang artistik tersebut. Ia tidak
semata-mata pesan-pesan moral ataupun khotbah-khotbah tentang baik dan buruk
akan tetapi menjadi pesan-pesan yang artistik. Pesan-pesan yang ditawarkan
dalam keterpesonaan dan senandung.
Dalam kesusastraan
Indonesia masalah itu dengan jelas dapat dilihat. Misalnya, kenyataan-kenyataan
yang ada disekitar tahun 20-an terutama dalam masyarakat Minangkabau ialah
masalah: kawin paksa. Pengarang kita
pada waktu itu punya suatu sikap dan tidak puas dengan realitas objektif itu.
Sikap itu bersifat subjektif: bahwa ia tidak senang dan memprotes. Akan tetapi,
sifat itu juga bersifat inter-subjektif karena jektif dan inter-subjektif
itulah yang kemudian diungkapkan di dalam ciptasastra-ciptasastra.
Ciptasastra-ciptasastra
itu tidak saja lagi sebagai pernyataan dari sikap, akan tetapi juga merupakan pernyataan dari
cita-cita berhubung dengan realitas objektif tersebut. Diungkapkan dalam suatu
transformasi (wadah) yang artistik, sesuai dengan ukuran (kriteria-kriteria)
kesusastraan.
Sebuah ciptasastra
selain merupakan pernyataan hati nurani pengarangnya, ia juga merupakan
pengungkapan hati nurani masyarakatnya. Didalamnya terdapat sikap, visi
(pandangan-hidup), cita-cita, dan konsepsi dari pengarangnya. Dari masalah
kawin paksa, misalnya dalam kesusastraan Indonesia lahirlah
ciptasastra-ciptasastra: “Siti Nurbaya” dari marah Rusli, “Tenggelamnya Kapal
van der Wijck” dari Hamka dan “Salah Asuhan” dari Abdul Muis (untuk menyebut
beberapa ciptasastra yang baik).
Sebuah ciptasastra
merupakan kritik terhadap kenyataan-kenyataan yang berlaku atau seperti yang
dikatakan Albert Camus (seorang pengarang dan filsuf Perancis yang pernah mendapat
Hadiah Nobel) merupakan pemberontakan terhadap realitas. Karya sastra Marah
Rusli “Siti Nurbaya” merupakan kritik terhadap tata kehidupan masyarakat
Minangkabau sekitar tahun 1920-1930. Demikian juga dengan “Tenggelamnya Kapal
van der Wijck” ataupun “salah Asuhan”. “Layar Terkembang” karya Sutan Takdir
Alisyahbana merupakan kritik terhadap kehidupan masyarakat Indonesia yang masih
statis. Karya Idrus “Surabaya” juga adalah kritik terhadap ekses-ekses dan
hal-hal yang negatif dari revolusi fisik. Demikian pula dengan sajak-sajak Chairil
Anwar, kumpulan puisi Taufik Ismail “Benteng” dan “Tirani” atau juga novel
Bambang Sularto “Domba-Domba Revolusi”.
Semuanya diungkapkan
melalui bahasa sebagai media. Dengan demikian, di dalam kesusastraan ada
beberapa faktor yang menjadi bahan pertimbangan, yaitu faktor persoalan yang
diungkapkan, keindahan pengungkapan, dan
faktor bahasa atau kata. Dalam kesusastraan Indonesia, yang dimaksudkan
adalah pengungkapan persoalan-persoalan dan nilai-nilai tentang hidup (manusia
dan kemanusiaan), terutama persoalan-persoalan dan nilai-nilai lain yang
berhubungan dengan bangsa Indonesia serta diungkapkan dengan menggunakan Bahasa
Indonesia sebagai media.
2.5 Bentuk-Bentuk Kesusastraan
Ada beberapa bentuk ciptasastra:
a.
Puisi.
b.
Cerita rekaan (fiksi).
c.
Esei dan kritik.
d.
Drama.
Apakah yang membedakan
antara puisi dengan cerita rekaan? Perbedaan itu akan terlihat dalam proses
pengungkapan. Dalam puisi akan dijumpai dua proses yang disebut dengan proses konsentrasi dan proses intensifikasi. Proses konsentrasi
yakni proses pemusatan terhadap suatu fokus suasana dan masalah, sedang proses
intensifikasi adalah proses pendalaman terhadap suasana dan masalah tersebut.
Unsur-unsur struktur puisi berusaha membantu tercapainya kedua proses itu. Pada
prosa, suasana yang lain atau masalah-masalah yang lain dapat saja muncul di
luar suasana dan masalah pokok yang ingin di ungkapkan seorang pengarang dalam
ciptasastranya.
Cerita-rekaan (fiksi)
sering dibedakan atas tiga macam bentuk, yakni: cerita-pendek (cerpen), novel, dan roman. Akan tetapi di dalam kesusastraan Amerika umpamanya hanya
dikenal istilah: cerpen (short-story)
dan novel. Istilah roman tidak ada. Yang kita maksud dengan “roman” dalam kesusastraan
Amerika ialah “novel”.
Perbedaan antara ketiga
bentuk cerita-rekaan itu tidaklah hanya terletak pada panjang pendeknya cerita
tersebut atau pada jumlah kata-katanya. Ada ukuran lain yang membedakannya. Cerita-pendek
(cerpen) merupakan pengungkapan suatu kesan yang hidup dari fragmen dari
kehidupan manusia. Daripadanya tidak dituntut terjadinya suatu perubahan nasib
dari pelaku-pelakunya. Hanya suatu lintasan dari secercah kehidupan manusia,
yang terjadi pada suatu kesatuan waktu.
Novel merupakan
pengungkapan dari fragmen kehidupan manusia (dalam jangka yang lebih panjang)
di mana terjadi konflik-konflik yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan
jalan hidup antara para pelakunya. Beberapa contoh novel dalam kesusastraan
Indonesia, misalnya “Belenggu” karya Armin Pane, “Kemarau” karya A.A. Navis, dan
“Merahnya Merah” karya Iwan Simatupang.
Dalam “Belenggu”
misalnya, setelah terjadi konflik-konflik antara dr. Sukartono, Sumartini, dan
Rokhayah, maka akhirnya terjadilah perubahan jalan hidup pada masing-masing
pelaku novel tersebut. Begitu juga antara Sutan Duano dalam “Kemarau” dengan
anaknya. Setelah terjadi konflik-konflik kemudian diikuti pula dengan perubahan
jalan nasib. Demikian pula dalam “Merahnya Merah”. Tokoh kita, Fifi dan Maria
mengalami perubahan jalan nasib setelah terjadi konflik-konflik.
Dalam novel diungkapkan
suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang, pemusatan kehidupan
yang tegas. Sedangkan, roman
rancangannya lebih luas dan mengandung sejarah perkembangan.
Roman merupakan bentuk
kesusastraan yang menggambarkan kronik kehidupan yang lebih luas dari kehidupan
manusia. Biasanya dilukiskan mulai dari masa kanak-kanak sampai menjadi dewasa,
akhirnya meninggal. Sebagai contoh, misalnya roman “Siti Nurbaya”,
“Tenggelamnya Kapal van der Wijck” ataupun roman “Athheis” karya Akhdiat
Kartamiharja.
Istilah roman berasal
dari kesusastraan Perancis. “Roman” adalah bahasa rakyat sehari-hari di negeri
Perancis. Kemudian berkembang artinya menjadi cerita-cerita tentang
pengalaman-pengalaman kaum ksatria dan cerita-cerita kehidupan yang jenaka dari
pedesaan. Sekarang pengertian roman telah menyangkut tentang kehidupan manusia
pada umumnya. Hakekat dari cerita rekaan ialah bererita. Ada yang diceritakan
dan ada yang menceritakan.
Bentuk ciptasastra yang
lain adalah esai dan kritik. Esai adalah suatu karangan yang berisi
tanggapan-tanggapan, komentar, pikiran-pikiran tentang suatu persoalan. Setiap
esai bersifat subjektif, suatu pengucapan jiwa sendiri. Di dalam esai bisa kita
lihat pribadi dan pendirian pengarang. Pikiran-pikirannya, sikap-sikapnya,
cita-citanya, dan keinginannya terhadap soal yang dibicarakannya atau terhadap
hidup pada umumnya. Dalam esai tidak diperlukan adanya suatu konklusi
(kesimpulan). Esai bersifat sugestif dan lebih banyak memperlihatkan alternatif-alternatif.
Berbeda dengan esai
adalah studi. Ia merupakan suatu
karangan mengenai penelitian terhadap sesuatu dan bersifat obejektif. Perasaan
pengarang tidak banyak ikut bicara. Studi lebih senang mengemukakan data dan
bukti-bukti.
Menurut H.B. Yassin,
kritik adalah pertimbangan buruk dan baik sebuah ciptasastra. Suatu kritik juga
bersifat subjektif meskipun mungkin menggunakan term-term yang objektif. Kritik
merupakan salah satu bentuk esai. Suatu kritik (sastra) yang baik juga harus
lebih banyak memperlihatkan alternatif-alternatif daripada memberikan vonis.
Beberapa penulis esai
yang terkenal dalam kesusastraan adalah Gunawan Mohamad, Arief Budiman, Wiratmo
Sukito, Sujatmoko, Buyung Saleh (Tokoh Lekra), Umar Khayam, dan lain-lain.
Sedangkan, tokoh-tokoh kritikus yang terkenal antara lain adalah: H.B. Yassin,
Prof. Dr. A. Teeuw, M.S. Hutagalung, J.U. Nasution, Beon Sri Umaryati, M. Saleh
Saad, Umar Yunus, dan lain-lain.
Bentuk kesusastraan
yang lain adalah drama atau Sandiwara (sandi = rahasia, wara = pelajaran), artinya
pelajaran yang disampaikan secara rahasia. Drama atau sandiwara yang dimainkan
(dipergelarkan) adalah cerita, naskah, atau reportoar yang akan dimainkan
tersebut.
Hakekat drama adalah
terjadinya suatu konflik. Baik konflik antara tokoh ataupun konflik dalam
persoalan maupun konflik dalam diri seorang tokoh. Konflik inilah nanti yang
akan mendorong dialog dan menggerakkan aksi.
2.6 Wilayah-Wilayah Kesusastraan
Dalam kehidupan
kesusastraan ada tiga wilayah kesusastraan yang saling berhubungan dan saling
membantu, wilayah-wilayah tersebut adalah: wilayah penciptaan kesusastraan (the life of literature), wilayah
penelitian kesusastraan (the study of
literature), dan wilayah penikmat kesusastraan (Esten, 1987: 10). Wilayah
penciptaan kesusastraan ialah wilayah para sastrawan, yang diiukti dengan
ciptaan-ciptaan. Persoalan mereka ialah bagaimana menciptakan ciptasastra yang
baik dan bermutu.
Wilayah penelitian
ialah wilayah para ahli dan para kritikus. Mereka berusaha menjelaskan,
menafsirkan dan memberikan penilaian terhadap ciptasastra-ciptasastra. Tentu
saja mereka harus memperlengkapi diri mereka dengan segala pengetahuan yang
mungkin diperlukan untuk memahami ciptasastra-ciptasastra yang mereka hadapi.
Wilayah para penikmat adalah wilayahnya para pembaca. Wilayah ini tidak kurang
pentingnya, karena untuk merekalah sesungguhnya ciptasastra-ciptasastra ditulis
oleh para pengarang.
Hasil sastra yang tidak
ada pembacanya tentu tidak akan ada artinya. Demikian pula halnya dengan
ciptasastra yang tidak berkomunikasi.
Selama ini di Indonesia,
ciptasastranya kurang mendapat perhatian dan kurang mendapat tempat dikalangan
masyarakat. Penyebabnya mungkin dapat dicari pada dua wilayah, yaitu wilayah
penelitian dan wilayah para penikmat. Wilayah penelitian kurang digarap, sehingga
ciptasastra-ciptasastra kurang terjelaskan dan semakin tersisih. Tidak ada yang
memberikan apresiasi sehingga masyarakat justru memiliki ukuran-ukuran yang
keliru terhadap karangan-karangan yang mereka baca. Demikian pula pembaca
sendiri tidak berusaha untuk memahami ciptasastra-ciptasastra, misalnya dengan
menambah pengetahuan dan memperdalam apresiasi.
Untuk menjadi sastrawan
juga diperlukan persyaratan-persyaratan yang cukup berat. Mereka harus
memperkaya pengalaman, memperbanyak dan memperluas ilmu pengetahuan. Menghayati
secara intensif (sungguh-sungguh dan mendalam) makna hidup dan masalah-masalah
manusia. Sastrawan tidak mungkin hanya bermodalkan perasaan-perasaan dan
menunggu inspirasi saja. Tidak mungkin menjadi sastrawan hanya disebabkan suatu
akibat atau penderitaan, misalnya karena putus dalam percintaan lalu mencoba
mengarang.
2.7 Aliran-Aliran dalam Kesusastraan
Di dalam kesusastraan di kenal beberapa
macam aliran. Aliran-aliran ini terlihat di dalam ciptasastra-ciptasastra,
maupun dalam tinjauan-tinjauan tentang kesusastraan (Esten, 1987: 26). Antara
lain aliran-aliran itu adalah:
a.
Ekspresionisme, ialah
aliran yang mengutamakan pernyataan jiwa pengarang. Alam hanyalah alat untuk
menciptakan pengertian-pengertian dari kejiwaan. Dalam hasil sastra yang
beraliran ekspresionisme nampak sekali letupan-letupan perasaan dan pergolakan
jiwa si pengarang. Misalnya: puisi-puisi Chairil
Anwar.
b.
Realisme, ialah aliran
yang melukiskan orang-orang dan peristiwa-peristiwa dengan perasaan-perasaan
dan pemikirannya sampai kepada yang sekecil-kecilnya dengan tidak memihak dan
memberikan manifestasi jasmaniah (material) tanpa mempersoalkan sumbernya.
c.
Idealisme, ialah aliran
yang mementingkan cita-cita, suatu dunia yang jauh di depan, dan menghindari
kenyataan yang buruk dalam masyarakat untuk dilukiskan. Sebagai contoh “Layar
Terkembang” Sutan Takdir Alisyahbana.
d.
Naturalisme, ialah
aliran yang hampir sama dengan aliran realisme. Ia melukiskan bahwa manusia merupakan
bagian dari alam yang penuh dengan hasrat-hasrat dan kekurangan-kekurangan.
Aliran naturalisme cenderung untuk melukiskan kekurangan-kekurangan dan segala
keperluan-keperluan manusia. Pengarang naturalisme yang terkenal adalah Emile
Zola (pengarang Perancis) dengan karyanya yang terkenal “Germinal” (Tambang),
pengarang Motinggo Busye. “Belenggu” karya Armin Pane dianggap pula beraliran
naturalisme.
e.
Romantik, ialah aliran
yang mengutamakan perasaan. Bahwa manusia harus lebih banyak menggunakan
intuisi (untuk meraba rahasia alam yang tak terduga). Pengarang romantik dunia yang terkenal ialah Victor Hugo dan
Lord Byron.
f.
Surealisme, ialah
aliran yang menghendaki keseluruhan dalam kesewaktuan. Segala-galanya terjadi
serentak. Banyak dilukiskan kehidupan dan pembicaraan bawah sadar. Aliran ini
banyak mendapat pengaruh dari psikologi analisa Freud. Bahwa perbuatan manusia
digerakkan libido, nafsu seksual
yang asli. Beberapa contoh ciptasastra dari aliran ini ialah “Jalan Tak Ada Ujung” Mochtar Lubis.
Dongeng “Sangkuriang” yang terkenal juga berbau surealisme.
g.
Eksistensialisme, ialah
aliran dalam kesusastraan yang berdasarkan ajaran-ajaran filsafat
eksistensialisme. Antara lain ialah bahwa hakekat manusia berbeda dengan alam.
Manusia terus melakukan pembaruan-pembaruan terhadap dirinya. Mengenal dirinya
melalui pengenalan terhadap orang atau benda lain.
Aliran-aliran dalam kesusastraan ini
tidaklah dijumpai secara persis di dalam sebuah ciptasastra. Dan sebuah
ciptasastra tidaklah diwarnai suatu aliran saja. Yang dapat ditemui di dalam
sebuah ciptasastra adalah unsur-unsur dari aliran itu.
2.8 Hubungan Teori Kesusastraan, Teori Kritik Sastra, dan
Teori Sejarah Sastra
Istilah kesusastraan (theory of literature) juga mencakup
teori kritik sastra dan teori sejarah sastra (Wellek & Warren, 2014: 36). Kesusastraan
dapat dipelajari secara umum atau secara khusus. Secara umum melalui studi
prinsip, kategori, dan kriteria. Secara khusus melalui telaah langsung karya
sastra. Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan kriteria., sedangkan
studi karya-karya konkret disebut kritik sastra dan sejarah sastra.
Dalam wilayah studi
sastra, perlu adanya perbedaan antara teori sastra, kritik sastra, dan sejarah
sastra. Pertama yang perlu dipilah adalah perbedaan sudut pandang yang
mendasar, kesusastraan dapat dilihat sebagai deretan karya sastra yang sejajar,
atau yang tersusun secara kronologis dan merupakan bagian dari suatu proses
sejarah.
Teori sastra jelas
hanya dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra. Kemudian,
tidak mungkin kita menyusun teori sastra tanpa kritik sastra atau sejarah
sastra. Sebaliknya, tidak mungkin juga ada kritik sastra atau sejarah sastra
tanpa set pertanyaan, suatu sistem pemikiran, acuan, dan generalisasi.
Sejarah sastra sangat
penting untuk kritik sastra, kalau kritik hendak bergerak lebih jauh dari
sekadar pernyataan suka dan tidak suka. Seorang kritikus yang tidak peduli pada
hubungan sejarah akan meleset penilaiannya. Ia tidak akan tahu apakah karya itu
asli atau tiruan. Ia cenderung salah dalam pemahamannya atas karya sastra. Kenyataan
bahwa ketiga bidang tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Kesusastraan bukan
suatu seri karya sastra yang unik dan tak punya kesamaan satu sama lain, dan
bukan sejumlah karya yang terkurung oleh lingkungan waktu seperti zaman Klasik atau
zaman Romantik (Wellek & Warren, 2014: 41).
Ada yang berusaha
memisahkan sejarah sastra dari teori sastra dan kritik sastra. Tetapi perbedaan
ini sukar dipegang. F.W. Bateson, misalnya, mengatakan bahwa sejarah sastra
menunjukan A berasal dari B, sedangkan kritik sastra menunjukkan A lebih baik
dari B. Hubungan yang pertama dapat dibuktikan, sedangkan yang kedua bergantung
pada pendapat dan keyakinan. Tetapi perbedaan semacam ini sulit untuk kita
pegang sebagai alasan. Secara keseluruhan dalam pengkajian karya sastra, antara
teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra terjalin keterkaitan.
III.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jika disimpulkan maka
“kesusastraan” adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai
manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium
dan memberikan efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan).
Aliran-aliran dalam
kesusastraan ini tidaklah dijumpai secara persis di dalam sebuah ciptasastra.
Dan sebuah ciptasastra tidaklah diwarnai suatu aliran saja. Yang dapat ditemui
di dalam sebuah ciptasastra adalah unsur-unsur dari aliran itu.
Dalam kesusastraan ada
beberapa faktor yang menjadi bahan pertimbangan, yaitu faktor persoalan yang
diungkapkan, keindahan pengungkapan, dan
faktor bahasa atau kata. Dalam kesusastraan Indonesia, yang dimaksudkan
adalah pengungkapan persoalan-persoalan dan nilai-nilai tentang hidup (manusia
dan kemanusiaan), terutama persoalan-persoalan dan nilai-nilai lain yang
berhubungan dengan bangsa Indonesia serta diungkapkan dengan menggunakan Bahasa
Indonesia sebagai media. Secara keseluruhan dalam pengkajian karya sastra,
antara teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra terjalin keterkaitan.
3.2 Saran
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam
menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya. Apabila masih terdapat kekurangan
dalam penulisan maupun isi dari makalah yang kami susun, pembaca dapat mencari
literatur-literatur lain sebagai penambah dan pelengkap pengetahuan mengenai
Teori Kesusastraan.
DAFTAR
PUSTAKA
Esten, Mursal.
1987. Kesusastraan: Pengantar Teori dan
Sejarah. Bandung:
Angkasa.
Wellek,
Rene & Austin Warren. 2014. Teori Kesusastraan
(Diindonesiakan
Melani Budianta).
Jakarta: Gramedia.
Komentar
Posting Komentar